Implementasi Rencana Tata Guna Tanah untuk Kawasan Permukiman di Kota Mojokerto

Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Pasal 16 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dalam pemanfaatan ruang perlu dikembangkan penatagunaan tanah yang mengatur pola pengelolaan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Hal ini terkait dengan implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang diharapkan dapat dilaksanakan dengan baik guna mengatur pengembangan kawasan permukiman di Kota Mojokerto.
Kota Mojokerto merupakan daerah di Jawa Timur, bahkan di Indonesia yang memiliki satuan wilayah maupun luas wilayah terkecil dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Pertambahan penduduk yang tinggi menyebabkan kebutuhan akan perumahan dan permukiman meningkat. Akibatnya adalah meningkatnya jumlah perumahan dan permukiman tidak diiringi dengan manajemen pemanfaatan ruang sehingga tercipta suatu wilayah perumahan dan permukiman yang tidak teratur yang menyebabkan penyebaran penduduk yang tidak merata.
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan tujuan memberikan gambaran tentang implementasi rencana tata guna tanah untuk kawasan permukiman di Kota Mojokerto dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.
Dalam implementasi rencana tata guna tanah untuk kawasan permukiman di Kota Mojokerto dilakukan dengan melaksanakan: 1) Pengendalian pemanfaatan ruang, 2) Pengendalian intensitas bangunan, 3) Tata guna tanah untuk kawasan permukiman, 4) Ijin perubahan penggunaan tanah, 5) Pengembangan wilayah perumahan dan permukiman.
Arahan rencana tata guna tanah untuk pengembangan kawasan permukiman kota Mojokerto difokuskan pada wilayah: bagian timur kota, perkembangan permukiman diarahkan pada tanah yang belum terbangun yaitu pada Kelurahan Kedundung, Gunung Gedangan dan Kelurahan Meri. Pada bagian barat kota, pengembangan permukiman diarahkan di Kelurahan Surodinawan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi rencana tata guna tanah untuk kawasan permukiman di Kota Mojokerto perlu dioptimalkan. Hal ini dapat dilihat dari masih bercampurnya pembangunan kawasan industri dengan kawasan permukiman. Masih banyak terdapat permukiman penduduk di sepanjang rel kereta api. Disamping itu, penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung kawasan permukiman harus ditingkatkan. Berdasarkan hal itu penulis menyampaikan agar Pemda meningkatkan pengawasan penatagunaan tanah khususnya untuk kawasan permukiman.

IMPLEMENTASI RENCANA TATA GUNA TANAH
UNTUK KAWASAN PERMUKIMAN
DI KOTA MOJOKERTO

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi Ujian Sarjana
Pada Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

Disusun Oleh :
SAIFUL ARIF
0210310091

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK
KONSENTRASI ADMINISTRASI PEMBANGUNAN
MALANG
2006

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pembangunan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk dari pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam melaksanakan kegiatan pembangunan hendaknya diorientasikan pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat, karena parameter keberhasilan pembangunan adalah seberapa besar tingkat kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Untuk dapat mencapai hal tersebut, maka diperlukan perencanaan pembangunan yang matang dan bersifat perspektif, futuristik, dan antisipatif secara terintegrasi sehingga dapat diarahkan pada perwujudan pelayanan secara adil dan merata.
Dengan berlakunya kebijakan otonomi daerah, telah memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada pemerintah daerah, yang diharapkan akan dapat mewujudkan pelayanan yang adil dan merata. Dimana dengan diberlakukannya kebijakan ini, akan memberi peran yang lebih banyak kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan maupun dalam kegiatan pembangunan di daerah, dimana segala urusan maupun kepentingan daerah yang menjadi wewenang pemerintah daerah diserahakan pada pemerintah setempat masing-masing, termasuk juga mengenai perencanaan pembangunan daerah yang di wujudkan melalui perencanaan regional. Menurut Soekartawi (1990:27) “melalui perencanaan regional diharapkan semua daerah dapat melaksanakan pembangunan secara proporsional dan merata sesuai dengan potensi yang ada di daerah tersebut”. Dengan demikian, perencanaan pembangunan daerah akan dapat lebih efektif jika di lakukan oleh pemerintah daerah setempat, hal ini dikarenakan pemerintah daerah lebih tahu apa saja yang menjadi kebutuhan dan kepentingan masyarakat di daerah sehingga proses pembangunan di daerah dan pemerataan hasil-hasilnya dapat lebih efektif dan efisien.
Dalam melaksanakan pembangunan daerah, pemerintah daerah mengupayakan pendayagunaan potensi wilayah guna mengoptimalkan tujuan yang hendak dicapai. Namun dalam prosesnya, hal ini tidak terlepas dari berbagai permasalahan. Dimana permasalahannya muncul dikarenakan kondisi yang ada, yaitu terbatasnya potensi sumber daya yang dimiliki serta beragamnya kepentingan yang harus dipenuhi. Untuk itu dalam melaksanakan pembangunan daerah hendaknya dilakukan dengan perencanaan yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik daerah tersebut, sehingga potensi sumberdaya yang jumlahnya terbatas dapat didayagunakan secara optimal guna memenuhi kebutuhan masyarakat serta mencapai target atau tujuan pembangunan yang luas. Dengan demikian perencanaan pembangunan memegang peranan penting sebagai pedoman pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembangunanan daerah.
Namun sering kita lihat kondisi pembangunan sekarang ini masih banyak ketidak sesuaian antara perencanan pembangunan dengan pelaksanaanya di lapangan, khususnya dalam pengembangan wilayah, yang dalam hal ini secara langsung maupun tidak langsung selalu terkait dengan pemanfaatan potensi sumberdaya alam, yaitu berupa lahan atau ruang. Sebagaimana diungkapakan oleh Blaang (1986: 18), “Pada dasarnya ruang atau tanah meruapakan modal dasar dan potensi sumberdaya alam nasional yang mahal dan semakin langka, yang dibutuhkan dan dimanfaatkan untuk berbagai macam kegiatan pembangunan”. Dimana permasalahannya terletak pada pemanfaatan ruang yang belum sesuai dengan rencana tata ruang, terutama di daerah perkotaan yang perkembangan fisik bangunan terus meningkat sementara disisi lain wilayah hijau perkotaan mulai menipis dihantam “beton”. Tentunya hal ini akan menimbulkan konflik baru dalam proses pembangunan yaitu berkurangnya lahan produktif sebagai sumber penyedia bahan pangan serta menurunnya fungsi ruang terbuka hijau sebagai paru-paru kota. Permasalahan tersebut timbul dikarenakan minimnya kesadaran masyarakat dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang serta ketidaktegasan aparat pemerintahan daerah dalam menindak pelanggaran penyalahgunaan ruang dalam proses pembangunan.
Untuk mengatasi hal di atas perlu adanya mekanisme yang baku, peraturan pelaksanaan yang mendukung, dan prosedur pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang, terutama di daerah perkotaan. Maka dalam hal ini pemerintah daerah telah menetapkan rencana penataan ruang yang diwujudkan melalui penetapan RTRW Kota. Penataan ruang ini menempati kedudukan yang sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan daerah karena aspek-aspeknya meliputi bidang lingkungan hidup dan pertanahan yang terkait dengan hampir semua kegiatan dalam kehidupan manusia dan pembangunan. Sedangkan RTRW Kota yang merupakan bagian dari kebijakan pembangunan daerah diharapkan dapat mencakup segi spasial yang akan memberikan dasar bagi pencapaian keserasian dan optimasi pemanfaatan ruang sesuai dengan fungsi masing-masing wilayah. Melalui RTRW Kota yang telah ditetapkan, diharapkan dapat mengakomodasi dan menjamin berbagai kepentingan, yakni kepentingan pemerintah, swasta maupun masyarakat secara adil dalam kegiatan pemanfaatan ruang dalam proses pembangunan.
Untuk itu hendaknya berbagai upaya dalam pelaksanaan pembangunan dalam rangka pengembangan wilayah berpedoman pada RTRW yang telah ditetapkan. Hal ini sesuai dengan penjelasan UU nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang selanjutnya disebut UUPR mengemukakan bahwa “pelaksanaan pembangunan, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan”. Hal tersebut dimaksudkan agar ruang dan tanah dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien bagi pemenuhan kebutuhan pembangunan yang terus meningkat secara dinamis serta guna mengantisipasi munculnya permasalahan. Sebagaimana diungkapkan oleh Blaang (1986:18) bahwa “perencanaan, pengawasan, dan pengendalian yang efektif terhadap pemanfaatan dan penggunaan ruang dan tanah, perlu diperhatikan sedini mungkin dengan memperhitungkan dimensi-dimensi pembangunan dan kecenderungan masa depan serta dampak lingkungan yang akan terjadi”.
Sehubungan dengan hal di atas, Malang Raya yang kini menjadi kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya terus melakukan pembangunan, yang dalam prosesnya tidak terlepas juga dari permasalahan. Dimana permasalahan yang dihadapi Kota Malang khususnya, pada dasarnya sangat kompleks dan saling berkaitan satu sama lain. Diantaranya adalah permasalahan sosial, yaitu masalah kependudukan dan pemanfaatan ruang. Permasalahan kependudukan adalah jumlah penduduk Kota Malang yang selalu melonjak naik dari tahun ke tahun, baik yang diakibatkan oleh kelahiran maupun urbanisasi. Kelengkapan fasilitas yang dimiliki Kota Malang (pendidikan, perdagangan, industri) telah mampu menarik masyarakat daerah sekitarnya untuk bermukim di kota ini. Hal ini mengakibatkan kebutuhan akan perumahan dan permukiman selalu meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas yang secara otomatis kebutuhan akan ruang pun juga akan meningkat. Padahal kita ketahui daya dukung kemampuan perkotaan, khususnya Kota Malang kian terbatas dalam penyediaan lahan yang luasnya tidak pernah bertambah sehingga seringkali hal ini menambah rumitnya persoalan yang dihadapi oleh pemerintah Kota Malang dalam hal penyediaan dan pengaturan lokasi bagi perumahan dan permukiman di Kota Malang.
Oleh karena perumahan sebagai kebutuhan primer dari setiap penduduk yang harus dipenuhi, maka masalah perumahan dan permukiman terasa begitu penting dan harus dipikirkan pemecahannya oleh berbagai pihak, sebagaimana dikemukakan oleh Blaang sebagai berikut:
“…perumahan merupakan salah satu unsur dasar kesejahteraan rakyat disamping sandang dan pangan, serta merupakan bagian dari pembangunan nasional yang dapat mendukung sektor-sektor pembangunan lainnya, oleh karena itu masalah perumahan ini perlu ditangani secara mendasar dalam jangka panjang, sebagai salah satu tugas nasional (Blaang ,1986:6)”.
Dalam hubungannya dengan pengembangan wilayah perumahan dan permukiman sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat, sudah menjadi kenyataan bahwa orientasi pembangunan perumahan dan permukiman di berbagai wilayah, termasuk juga di Kota Malang cenderung lebih ditekankan pada upaya pengadaan rumah ditilik dari segi kuantitas, tanpa memperhatikan kualitas yaitu mengenai aspek lingkungan. Akibatnya adalah meningkatnya jumlah perumahan dan permukiman tidak dibarengi dengan manajemen pemanfaatan ruang sehingga tercipta suatu wilayah perumahan dan permukiman yang tidak teratur yang pada akhirnya berakibat pada penyebaran penduduk yang tidak merata pula.
Sayangnya kondisi tersebut telah terjadi di Kota Malang, yaitu adanya penyebaran penduduk yang tidak merata, dimana telah terjadi pertumbuhan penduduk yang sangat cepat di pusat kota dan wilayah-wilayah tertentu akibat terakumulasinya kegiatan fasilitas pelayanan di wilayah tersebut sementara di sisi lain pertumbuhan penduduknya sangat lambat yaitu di wilayah pinggiran kota, terutama di wilayah bagian Timur Kota Malang (Kecamatan Kedungkandang).
Hal di atas tergambar jelas pada kondisi wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang, yaitu pemusatan permukiman di sekitar wilayah lingkar Kota Malang yaitu pada pusat kegiatan sosial ekonomi masyarakat, sebagai contoh permukiman di sekitar kawasan Pasar Besar. Hal ini menunjukkan bahwa masalah perumahan dan permukiman di Kota Malang tidak hanya menyangkut perbandingan antara jumlah penduduk tapi juga menyangkut persaingan yang makin intensif untuk mendapatkan lokasi yang dirasa strategis. Akibat yang terjadi, khususnya di wilayah-wilayah strategis tersebut telah banyak berdiri permukiman secara tidak terkendali, yang pada akhirnya menimbulkan kawasan kumuh atau slum area. Dalam permasalahan ini perlu adanya campur tangan pemerintah sebagai pengambil kebijakan dalam penataan dan pemanfaatan ruang. Hal ini sesuai dengan ungkapan Nugroho dan Dahuri berikut:
“Dengan mempertimbangkan bahwa kebutuhan akan tanah terus meningkat, sementara ketersediaannya semakin lama justru semakin berkurang, penerapan mekanisme pengaturan pemanfaatan tanah untuk menjamin bahwa pembangunan dan kehidupan manusia akan terpelihara keberlanjutannya perlu terus diupayakan dan ditingkatkan kualitasnya (Nugroho dan Dahuri , 2004:327)”.
Melihat kondisi tersebut menggambarkan bahwa pengadaan ataupun pengembangan perumahan dan permukiman di Kota Malang yang dilakukan oleh pemerintah, developer, maupun masyarakat secara swadaya kurang memperhatikan RTRW yang telah ditetapkan. Sehingga dalam pengembangannya masih banyak kita temui wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang yang masih berbaur dengan wilayah industri dan kegiatan sektor lain, hal ini terjadi di Kelurahan Ciptomulyo dan Jalan Tenaga dimana permukiman penduduk berbaur dengan pabrik berpolusi. Semestinya hal itu tidak boleh terjadi karena akan menimbulkan dampak-dampak negatif bagi penduduk sekitar.
Maka untuk mengatasi dan mengantisipasi perkembangannya yang tidak terkendali dalam kaitannya dengan perencanaan pembangunan, pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang pada masa yang akan datang hendaknya di dasarkan pada RTRW. Hal ini terkait dengan pengimplementasian suatu produk kebijakan pemerintah, yaitu Peraturan daerah No. 7 Tahun 2001 tentang RTRW Kota Malang tahun 2001-2011 yang diharapkan dapat dilaksanakan dengan baik guna mengatur pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang.
Pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang yang didasarkan pada RTRW yang telah ditetapkan akan didapatkan suatu pemahaman terhadap karakteristik atau potensi wilayah secara utuh, baik komprehensif fisik, demografi maupun ekonomis. Potensi fisik terdiri dari kondisi tanah di bagian selatan dan timur kota yang merupakan dataran tinggi dengan kondisi tanah yang kurang subur dan cukup luas sehingga cocok untuk digunakan untuk pembangunan kawasan permukiman. Potensi demografi adalah tingginya jumlah penduduk yang mengakibatkan peningkatan pada kebutuhan akan perumahan dan permukiman. Sedangkan potensi ekonomis adalah Kota Malang sebagai pengatur barang dan jasa sehingga memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat yang dapat menarik investor untuk mengembangkan perumahan dan permukiman di Kota Malang. Yang kesemua potensi yang dimiliki Kota Malang tersebut dapat didayagunakan secara optimal guna mendukung terciptanya suatu pembangunan wilayah perumahan dan permukiman yang terpadu, selaras dan serasi terhadap pembangunan lingkungan guna menghindari overlapping dengan sektor lain serta mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Berkaitan dengan perencanaan tata ruang wilayah dan pemanfaatn potensi wilayah di Kota Malang, tanpa mengurangi keberadaan sektor lain tetapi memang sektor perumahan dan permukiman memiliki arti strategis dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, serta bagaimana agar pengembangannya tidak berdampak kemunduran bagi sektor lain dan lingkungan sekitar, maka dalam penelitian ini penulis mengangkat judul “Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sebagai Kerangka Pengembangan Wilayah Perumahan dan Permukiman Dalam Upaya Pendayagunaan Potensi Wilayah (Suatu Studi di Kota Malang) ”.

B. RUMUSAN MASALAH
Dengan laju pertumbuhan penduduk yang makin tinggi, Kota Malang menjadi daerah hunian yang semakin padat yang ditandai oleh pembangunan perumahan dan permukiman di berbagai penjuru kota. Namun sayangnya, pembangunan sektor ini belum merata. Oleh karena itu dalam pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang saat ini dan masa mendatang hendaknya diperlukan pemanfaatan ruang melalui perencanaan yang matang dengan berpedoman pada RTRW Kota Malang yang telah ditetapkan, sehingga segala potensi wilayah dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah perumahan dan permukiman dapat didayagunakan secara optimal.
Dengan demikian, dalam penelitian ini penulis merumuskan permasalahan yang akan diteliti, yaitu :
1. Bagaimanakah proses penyusunan RTRW Kota Malang 2001 - 2011?
2. Bagaimanakah Gambaran RTRW Kota Malang 2001 - 2011?
3. Wilayah mana saja di Kota Malang yang mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai wilayah perumahan dan permukiman ?
4. Faktor apa saja yang berperan dalam pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang ?

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendiskripsikan proses penyusunan RTRW Kota Malang tahun 2001 - 2011.
2. Untuk mendiskripsikan RTRW Kota Malang 2001 - 2011.
3. Untuk mendiskripsikan wilayah di Kota Malang yang mempunyai potensi untuk dikembangkannya wilayah perumahan dan permukiman.
4. Untuk mendiskripsikan faktor-faktor yang berperan dalam pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang.

D. KONTRIBUSI PENELITIAN
Dengan dilakukannya penelitian ini penulis berharap akan mempunyai kontribusi sebagai berikut :
1. Sebagai bahan masukan kepada pemerintah Kota Malang untuk membuat perencanaan tata ruang wilayah yang berkaitan dengan pengembangan wilayah perumahan dan permukiman.
2. Sebagai bahan pengembangan kajian ilmu administrasi publik, khususnya bagi pengembangan studi perencanaan pembangunan yaitu dalam hal teknik dan analisis perencanaan.
3. Sebagai bahan acuan dan wahana informasi bagi peneliti selanjutnya terutama yang berkaitan dengan perencanaan tata ruang wilayah dan pengembangan wilayah perumahan dan permukiman.

E. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
Sistematika pembahasan yang digunakan dalam penulisan penelitian ini bertujuan untuk mempermudah memberi gambaran secara keseluruhan mengenai isi dari penelitian ini yang masing-masing akan diuraikan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini dikemukakan secara umum mengenai latar belakang mengapa penulis mengangkat permasalahan dan perumusan masalah, tujuan dan kontribusi penelitian, serta sistematika pembahasan.

BAB II : KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan dibahas secara teoritis mengenai perencanaan, tata ruang, wilayah, rencana tata ruang wilayah, pengembangan kawasan perumahan dan permukiman, rencana tata ruang wilayah sebagai kerangka pengembangan kawasan perumahan dan permukiman, dan pendayagunaan potensi wilayah

BAB III : METODE PENELITIAN
Dalam bab ini berisi tentang rancangan penelitian yang meliputi jenis dan metode penelitian, fokus penelitian, lokasi dan situs penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian dan analisis data yang dipergunakan.

BAB IV : PEMBAHASAN
Dalam bab ini berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian, penyajian data fokus dan analisisnya yaitu mengenai proses penyusunan RTRW Kota Malang tahun 2001 – 2011, RTRW Kota Malang yang meliputi struktur ruang, pola pemanfaatan ruang, pola pengendalian ruang, perencanaan pembangunan perumahan dan permukiman., faktor yang berperan dalam pengembanagn wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang.
BAB V : KESIMPULAN
Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PERENCANAAN

Definisi yang baku mengenai perencanaan relatif sulit ditetapkan karena adanya pandangan yang berbeda-beda dari para ahli. Namun demikian, menurut Soekartawi suatu perencanaan dapat disusun berdasarkan kriteria dan beberapa aspek, yaitu:
a. perlu adanya konsep yang utuh mengenai rencana aktivitas yang akan dilaksanakan.
b. perlu adanya pertimbangan yang melibatkan aspek keinginan masyarakat, sebab suatu rencana yang berencana perlu memperhatikan aspirasi masyarakat dari segala lapisan.
c. perlu adanya perhatian terhadap potensi sumberdaya yang tersedia.
d. perlu adanya perhatian terhadap tersedianya sumberdaya manusia baik jumlah maupun kualitas yang ada berikut sebarannya.
e. perlu adanya perhatian yang khusus terhadap aspek kontinuitas dan berkesinambungan (sustainable) (Soekartawi, 1990:2).

Berdasarkan argumentasinya di atas, kemudian Soekartawi (1990:4) mengemukakan bahwa “perencanaan sebenarnya merupakan proses yang berkesinambungan dari waktu ke waktu dengan melibatkan kebijaksanaan pembuat keputusan berdasarkan sumber daya yang tersedia yang disusun secara sistematis”. Sedangkan menurut Wilson sebagaimana dikutip oleh Jayadinata, bahwa perencanaan itu adalah suatu proses yang mengubah proses lain, atau mengubah suatu keadaan untuk mencapai maksud yang dituju oleh perencana atau orang/badan yang diwakili oleh perencana itu. Perencanaan itu meliputi:
a. analisis, yaitu kupasan data, proyeksi atau ramalan atau perkiraan untuk masa depan yang bertitik tolak dari keadaan masa kini;
b. kebijaksanaan (policy), yakni pemilihan rencana yang baik untuk pelaksanaan yang meliputi pengetahuan mengenai maksud dan kriteria untuk menelaah alternatifdan rencana;
c. rancangan atau desain, yaitu rumusan atau sajian rencana (Jayadinata, 1999:7).

Karena memerlukan kupasan data, proses perencanaan itu harus didahului dengan pengumpulan data lewat telaah atau survei.
Perencanaan menurut Tarigan (2004:3) dapat berarti: “mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor noncontrolable yang relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, serta mencari langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut”.
Dengan demikian perencanaan merupakan proses kegiatan yang berkesinambungan dan sistematis, diawali dengan pengumpulan data melalui survei sebagai bahan pertimbangan dan prediksi masa depan untuk menetapkan langkah-langkah yang dilakukan guna mencapai tujuan yang ditetapkan dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia.

B. TATA RUANG

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa “tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak” .
Sedangkan Mahmud memberikan pengertian mengenai tata ruang, yaitu :

“suatu wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan atau tidak yang mencakup didalamnya kawasan perkotaan serta kawasan-kawasan tertentu yang menunjukkan adanya suatu maksud dari pada wujud struktural pemanfaatan ruang. Maksud dari pada wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan buatan yang secara hierarki dan struktur membentuk tata ruang. Sedangkan pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang mengambarkan fungsi-fungsi dan karakter manusia yang akan berwujud seperti pola lokasi, pola penggunaan tanah, dan lain-lain”.

Menurut Kartasasmita (1996:427), pengertian tata ruang tidak dapat dipisahkan dengan definisi penataan ruang karena dalam penataan ruang terkandung berbagai pengertian mengenai tata ruang yang komprehensif. Kartasasmita (1996:427), mendefinisikan tata ruang sebagai “penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggaraan kehidupan”.
Selanjutnya Kartasasmita (1996:426), juga telah memberikan definisi mengenai penataan ruang yaitu merupakan proses perencanaan, pelaksanaan, atau pemanfaatan ruang, dan pengendalian pelaksanaan atau pemanfaatan ruang yang harus terkait satu sama lain.
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang disebutkan lebih spesifik mengenai penataan ruang yaitu :
“suatu upaya untuk mewujudkan tata ruang yang terencana, dengan memperhatikan keadaan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, interaksi antar lingkungan, tahapan dan pengelolaan pembangunan, serta pembinaan kemampuan kelembagaan dan sumberdaya manusia yang ada dan tersedia, dengan selalu mendasarkan pada kesatuan wilayah nasional dan ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, memelihara lingkungan hidup dan diarahkan untuk mendukung upaya pertahanan keamanan”.

Dengan demikian, penataan ruang dapat diartikan sebagai usaha pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang optimal bagi kemakmuran rakyat. Adanya penataan ruang ini diharapkan bisa menjadi jembatan bagi pengakomodasian dari berbagai kepentingan yaitu kepentingan pemerintah, swasta dan masyarakat sehingga tercipta keterpaduan, keselarasan dan keserasian pembangunan lingkungan.
Penataan ruang menurut UUPR pasal 2 berasaskan:
a. pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdayaguna, serasi, seimbang dan berkelanjutan;
b. keterbukaan, persamaan, keadaan dan perlindungan hukum.
Dengan berasaskan kedua hal di atas diharapkan dapat meminimalisir konflik antar pelaku pembangunan dalam mengakomodasikan kepentingannya dalam kegiatan pemanfaatan atau penggunaan ruang dalam melaksanakan pembangunan.
Adapun tujuan pentaaan ruang dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang adalah :
1. terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan nasional;
2. terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang wilayah lindung dan wilayah budidaya;
3. tercapainya pemanfaatan ruang berkualitas untuk :
a. mewujudkan keterpaduan bangasa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera;
b. mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia;
c. meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan secara berdaya guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia;
d. mewujudkan perlindungan fungsi ruang, mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan;
e. mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran.

Hal ini juga diungkapkan oleh Tarigan (2004:52) bahwa: “tujuan penataan ruang adalah menciptakan hubungan yang serasi antara berbagai kegiatan berbagai sub wilayah agar tercipta hubungan yang harmonis dan serasi”.
Dari uraian mengenai tujuan tata ruang di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan penataan ruang adalah untuk pemanfaatan ruang yang sesuai dengan kondisi sumberdaya yang ada agar tercipta hubungan yang harmonis dan serasi.

C. WILAYAH

Pengertian wilayah tidak dapat dilepaskan dengan penggunaannya dalam berbagai tujuan. Menurut Nugroho dan Dahuri (2004:9), “wilayah (region) adalah suatu area geografis yang memiliki ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi”.
Sedangkan berdasarkan pasal 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang dijelaskan bahwa “wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional” .
Selanjutnya Jayadinata membagi pengertian mengenai wilayah menjadi dua, yaitu:
a. wilayah dari aspek formal/wilayah geografi adalah kesatuan alam yang serba sama atau homogen atau seragam dan kesatuan manusia yaitu masyarakat serta kebudayan yang serba sama dan mempunyai ciri yang khas sehingga wilayah tersebut dapat dibedakan dengan wilayah yang lain.
b. wilayah dari aspek fungsional merupakan suatu bagian dari permukaan bumi, di mana keadaan alam yang berlawanan memungkinkan timbulnya berbagai kegiatan yang saling mengisi dalam kehidupan penduduk (Jayadinata, 1999:13)

Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa definisi wilayah adalah kesatuan geografis, manusia dan budaya yang memiliki ciri khusus serta adanya proses saling berinteraksi didalamnya.

D. RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW)

1. Pengertian RTRW

Perencanaan ruang wilayah adalah penggunaan atau pemanfaatan ruang wilayah, yang intinya adalah perencanaan penggunaan lahan dan perencanaan pergerakan pada ruang tersebut. Perencanaan ruang wilayah pada dasarnya adalah menetapkan ada bagian-bagian wilayah (zona) yang penggunaannya diatur dengan tegas dan bagian-bagian wilayah yang kurang atau tidak diatur penggunaannya. Dengan demikian, kegiatan itu disebut perencanaan atau penyusunan tata ruang wilayah (Tarigan, 2004:43).
Selanjutnya Tarigan (2004:51) mengemukakan bahwa “perencanaan tata ruang wilayah adalah suatu proses yang melibatkan banyak pihak dengan tujuan agar penggunaan ruang itu memberikan kemakmuran yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dan terjaminnya kehidupan yang berkesinambungan”.
Karmisa (1990:236) merumuskan bahwa “perencanaan tata ruang meliputi kegiatan menyusun, menetapkan rencana tata ruang dengan pertimbangan aspek waktu, model, dan optimasi terhadap pembangunan bumi, air, angkasa dan keseimbangan serta daya dukung lingkungan”.
Sedangkan dalam pasal 14 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, perencanaan dilakukan dengan pertimbangan:
a. keserasian, keselarasan dan keseimbangan fungsi budidaya da fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial, budaya serta fungsi pertahanan dan keamanan;
b. aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumberdaya, fungsi estetika lingkungan dan sosial.

Dengan demikian perencanaan penataan ruang wilayah harus memperhatikan segala aspek kehidupan guna mewujudkan suatu tata ruang yang kondusif dan aman bagi masyarakat.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa RTRW adalah proses perencanaan yang melibatkan banyak pihak guna penetapan dan pengaturan penggunaan ruang atau bagian-bagian wilayah sehingga dapat menciptakan kemakmuran dan kehidupan yang berkesinambungan bagi masyarakat.
UUPR yang merupakan landasan penataan ruang wilayah di Indonesia menyebutkan bahwa Rencana Tata Ruang dibedakan atas :
a. RTRW Nasional
RTRW Nasional merupakan penjabaran secara keruangan arah pembangunan nasional jangka panjang dan merupakan acuan dalam penyusunan program-program pembangunan nasional jangak menengah dan jangka pendek. RTRW Nasional juga merupakan kebijakan pemerintah yang menetapkan rencana dan struktur pola pemanfaatan ruang nasional beserta kriteria dan pola penanganan kawasan yang dilindungi, kawasan budidaya, dan kawasan lainnya. RTRW Nasional ini berjangka waktu 25 (duapuluh lima) tahun.
b. RTRW Propinsi
RTRW Propinsi merupakan penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah propinsi dengan jangka waktu pelaksanaannya 15 (lima belas) tahun. Kebijaksanaan itu meliputi arahan pengembangan kawasan-kawasan budidaya, sistem pusat-pusat permukiman, pedesaan dan perkotaan, sistem prasarana wilayah, dan kebijaksanaan pengembangan wilayah-wilayah prioritas.

c. RTRW Kabupaten/Kota (dalam pasal 22 angka 2 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang ) berisi :
1. pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya
2. pengelolaan kawasan pedesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu.
3. sistem kegiatan pembangunan dan sistem permukiman pedesaan dan perkotaan.
4. sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana lingkungan.

Tarigan (2004:51) mengungkapkan bahwa setiap rencana tata ruang Kota/Kabupaten harus mengemukakan kebijakan makro pemanfaatan ruang berupa:
a. tujuan pemanfaatan ruang,
yaitu menciptakan hubungan yang serasi antara berbagai kepentingan berbagai sub wilayah agar tercipta hubungan yang harmonis dan serasi.
b. struktur dan pola pemanfaatan ruang
struktur ruang menggambarkan pola pemanfaatan ruang dan kaitan antara berbagai ruang yang berkaitan dengan pemanfaatannya. Sedangkan pola pemanfaatan ruang adalah tergambarkannya pemanfaatan ruang secara menyeluruh.
c. pola pengendalian pemanfaatan ruang
yaitu kebijakan dan strategi yang perlu ditempuh agar rencana pemanfaatan ruang dapat dikendalikan menuju sasaran yang diinginkan.

2. Kegiatan Penyusunan RTRW

Adapun langkah-langkah kegiatan yang harus ditempuh dalam penyusunan dan penetapan perencanaan tata ruang dalam pasal 13 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang adalah:
a. menentukan arah pengembangan yang akan dicapai dilihat dari segi ekonomi, sosial, budaya, daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta fungsi pertahanan dan keamanan;
b. mengidentifikasi berbagai potensi dan masalah pembangunan dalam suatu wilayah perencanaan;
c. perumusan perencanaan tata ruang;
d. penetapan tata ruang.

Dalam kegiatan penyusunan RTRW ini peran serta masyarakat tidak dapat diabaikan begitu saja oleh pemerintah, melainkan keikut sertaan masyarakat menjadi suatu keharusan, sebagaimana amanat yang disampaikan dalam pasal 12 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, yang menyebutkan “penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan peran serta masyarakat”. Lebih jauh, aturan mengenai tata cara dan bentuk peran serta masyarakat dalam penataan ruang diatur dengan Permendagri nomor 9 tahun 1998 Tentang Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Tata Ruang Di Daerah. Dimana dalam pasal 6 disebutkan bahwa pelaksanaan peran serta masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang wilayah kota dapat berbentuk :
a. pemberian masukan dalam penetuan arah pengembangan wilayah yang akan dicapai.
b. pengidentifikasian berbagai potensi dan masalah pembangunan, termasuk bantuan untuk memperjelas hak atas ruang di wilayah dan termasuk perencanaan tata ruang kawasan.
c. bantuan untuk merumuskan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota.
d. pemberian informasi, saran, pertimbangan atau pendapat dalam penyusunan strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
e. pengajuan keberatan terhadap rancangan RTRW kabupaten/kota.

Pelaksanaan peran serta tersebut dilakukan dengan pemberian saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan atau masukan terhadap informasi tentang penentuan arah pengembangan, pengidentifikasian potensi dan masalah, serta rancangan RTRW Kota. Penyampaian tersebut dilakukan secara lisan atau tertulis terhadap Walikota dan DPRD Kota.
3. Fungsi dan Tujuan RTRW

Mengenai Fungsi RTRW, Sujarto (2003:48) mengungkapkan bahwa secara fungsional RTRW Kota merupakan:
a. perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah kota;
b. perwujudan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antara wilayah kota serta keserasian antar sektor;
c. pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan pemerintah dan/atau masyarakat;
d. penataan ruang bagian wilayah kota bagi kegiatan pembangunan.

Selanjutnya, Sujarto (2003:48) juga mengungkapkan bahwa “RTRW kota berorientasi pada suatu kegiatan untuk menjadi pengarah, pengatur dan pengendali didalam mengakomodasikan perkembangan spasial sebagai implikasi dari dinamika perkembangan kota secara optimal”.
Sehubungan dengan fungsi di atas, maka maksud dan tujuan rencana tata ruang wilayah kota adalah penggambaran secara garis besar kerangka kebijaksanaan perencanaan tata ruang yang dinamis serta berisi rumusan pokok kebijaksanaan perencanaan tata ruang pada bagian wilayah-wilayah kota, serta untuk penyusunan rencana-rencana yang lebih detail didalam rencana peruntukan lahan, rencana sektor-sektor, maupun rencana tata ruang wilayah kota yang terperinci (Sujarto, 2003:48).

E. PENGEMBANGAN WILAYAH PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

1. Pengembangan Wilayah

Menurut Said (1996:5), pengembangan wilayah secara definitif belum dapat diberikan batasan yang baku dan cenderung samar dengan pengertian lainnya seperti pembangunan wilayah, pembangunan daerah, maupun perencanaan tata guna tanah.
Namun Jayadinata (1999:4) membedakan pengertian pembangunan dan pengembangan, meskipun kedua istilah ini sering digunakan untuk maksud yang sama. Menurutnya, “pembangunan adalah mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada, sedangkan pengertian pengembangan ialah memajukan atau memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang sudah ada”.
Selanjutnya menurut Karmansyah (1986:3-4) pemahaman mengenai pengembangan wilayah adalah “usaha sadar yang dilaksanakan untuk merubah (baik dalam arti kualitas, jumlahnya dan jenisnya, dalam arti peningkatan sumber daya yang terbatas untuk kesejahteraan masyarakat pada suatu region/space atau wilayah”.
Dengan demikian pengembangan wilayah adalah usaha untuk merubah (baik kualitatif maupun kuantitatif) guna meningkatkan kemampuan yang dimiliki yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta hasil kerja manusia pada suatu wilayah untuk menunjang pembangunan.
2. Perumahan dan Permukiman

a. Definisi perumahan dan Permukiman

Salah satu yang menjadi kebutuhan pokok dan terpenting bagi umat manusia dalam mempertahankan hidupnya adalah terpenuhinya kebutuhan akan papan atau rumah atau tempat tinggal untuk berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Tetapi lebih daripada itu rumah sangat berperan dalam pembangunan bangsa, hal ini dikarenakan tanpa rumah atau tempat bermukim yang tetap, keberadaan seseorang secara formal sulit diakui (memiliki KTP) sehingga kesempatan masuk ke dunia formal tempat kebijaksanaan pembangunan diarahkan menjadi tertutup.
Bintarto (1984:10), menerangkann bahwa “perumahan sama dengan land-statement, yaitu tempat atau daerah dimana penduduk berkumpul dan hidup bersama, dimana mereka dapat menggunakan lingkungan setempat untuk mempertahankan, melangsungkan, mengembangkan kehidupannya”.
Sedangkan dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman (UUPP) disebutkan mengenai definisi perumahan yaitu “sebagai suatu kelompok yang memiliki fungsi lingkungan tempat hunian yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan”.
Mengenai definisi permukiman, Blaang telah memberikan definisinya, yaitu:
“Permukiman adalah suatu wilayah perumahan yang ditetapkan secara fungsional sehingga satuan sosial, ekonomi dan fisik ruang dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana umum, dan fasilitas sosial sebagai suatu kesatuan yang utuh dengan membudidayakan sumber-sumber daya dan dana, mengelola lingkungan yang ada untuk mendukung kelangsungan dan peningkatan mutu kehidupan manusia, memberi rasa aman, tetnteram nikmat, nyaman dan sejahtera dalam keselarasan, keserasian, dan keseimbangan agar fungsi sebagai wadah yang dapat melayani kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara” (Blaang, 1986:29).

Dalam UUPP juga disebutkan bahwa: “permukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar wilayah lindung, baik dalam lingkup ruang perkotaan maupun pedesaan, dan juga memiliki fungsi sebagai lingkungan tempat hunian serta tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan”.
Perumahan dan permukiman menurut Kusnoputranto (1984:26) merupakan tempat/lokasi dimana manusia bermukim yang diperlukan dengan penyiapan lingkungan yang memadai. Sehingga sarana dan prasarana mutlak harus disediakan guna memenuhi kebutuhan penduduk di wilayah permukiman tersebut. Sehubungan dengan hal itu Pemerintah Kota Malang telah menetapkan kewajiban bagi para pengembang perumahan untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung di wilayah yang sedang dibangunnya, hal ini terdapat pada Perda Kota Malang nomor 7 tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang yang dalam pasal 18 ayat 3 disebutkan bahwa :
“pengembang harus menyediakan sarana dan prasarana yang ada di kawasan permukiman yang meliputi :
a. fasilitas umum di kawasan permukiman minimal terdapat lapangan olahraga, taman dan makam/kuburan;
b. prasarana jalan, baik jalan yang menghubungkan antar rumah di dalam kawasan perumahan itu sendiri maupun jalan yang menghubungkan dengan kampung-kampung sekitarnya, serta jalan yang menghubungkan dengan jalan-jalan utama yang ada di Kota Malang yang diobuat dengan design jalan boulevard untuk jalan utama masuk perumahan;
c. pelayanan dan jaringan utilitas terutama pada pelayanan listrik, telepon, air bersih/minum, drainase, dan persampahan;
d. menyediakan ruang untuk perdagangan jasa maupun perkantoran dalam satu kawasan, apabila perumahan yang dikembangkan dalam skala besar;
e. pengembang tidak boleh meniadakan saluran irigasi maupun saluran-saluran drainase atau sungai-sungai kecil yang ada;
f. pengembang tidak boleh meniadakan lahan konservasi yang terbentuk”.

Dari berbagai definisi yang disebutkan para ahli diatas mengenai perumahan dan permukiman, dapat disimpulkan bahwa perumahan dan permukiman adalah salah satu kebutuhan pokok atau dasar bagi manusia dimana merupakan suatu hunian tempat tinggal serta tempat untuk melakukan aktivitasnya.

b. Tujuan dan Sasaran Pembangunan Perumahan dan Permukiman

Menurut Blaang (1986:7) tujuan utama dari pembangunan perumahan dan permukiman adalah agar setiap orang dapat menempati perumahan yang sehat, untuk mendukung kelangsungan dan peningkatan kesejahteraan sosialnya. Karena itu sasaran pembangunan perumahan dan permukiman adalah tertata dan tersedianya perumahan dan permukiman secara merata bagi seluruh lapisan masyarakat, terutama bagi golongan masyarakat yang berpendapatan rendah. Sedangkan dalam pasal 18 (2) UUPP, pembangunan permukiman ditujukan untuk:
a. menciptakan wilayah permukiman yang tersusun atas satuan-satuan lingkungan permukiman;
b. mengintegrasikan secara terpadu dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan yang telah ada di dalam atau di sekitarnya;
c. pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan wilayah permukiman skala besar yang terencana secara menyeluruh dan terpadu dengan pelaksanaan yang bertahap.

c. Asas dan Tujuan Penataan Perumahan dan Permukiman

Berdasarkan pasal 2 UUPP “penataan perumahan dan permukiman berlandaskan pada asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan”.
Mengenai tujuan penataan perumahan dan permukiman telah disebutkan dalam pasal 4 UUPP, yaitu:
a. memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka meningkatkan dan pemerataan kesejahteraan rakyat;
b. mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur;
c. memberi arah pada perkembangan wilayah dan pesebaran penduduk yang rasional;
d. menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan bidang-bidang lain.

d. Permasalahan dan Kebijakan di Bidang Perumahan dan Permukiman

Perumahan dan permukiman yang merupakan salah satu kebutuhan pokok perlu mendapat perhatian utama oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan bidang tersebut merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia dalam melangsungkan hidupnya. Dimana seiring perkembangan jaman dan tuntutan akan kebutuhan perumahan makin mendesak, maka masalah pembangunan perumahan dan permukiman terus muncul. Hal tersebut antara lain disebabkan oleh:
a. pertumbuhan penduduk yang pesat, baik yang berasal dari pertambahan penduduk secara alamiah maupun dari perpindahan penduduk ke daerah perkotaan (urbanisasi).
b. mahalnya biaya pembangunan perumahan di kota yang disebabkan lankanya tanah perumahan, sehingga harga tanah menjadi mahal dan biaya konstruksi rumah tinggi;
c. terbatasnya kemampuan ekonomi penduduk untuk membeli atau membangun rumah;
d. prasarana kota yang kurang memadahi dan kurangnya pengawasan dalam ketertiban pembangunan dan pemakaian tanah perumahan (Blaang, 1986: 86).

Menurut Batubara sebagaimana dikutip oleh Budihardjo menyatakan bahwa disamping kebijakan umum, khusus untuk daerah perkotaan perlu diambil langkah-langkah kebijaksanaan sebagai berikut:
a. pembangunan perumahan dan mutu lingkungan di daerah perkotaan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau dengan bantuan dan fasilitas pemerintah melalui perumnas dan BTN diharapkan dapat menjangkau semua ibukota propinsi dan kota-kota lainnya yang berkembang pesat.
b. pembangunan perumahan di daerah perkotaan dititik beratkan pada perbaikan dan pengadaan rumah untuk mengimbangi pertambahan penduduk, optimasi penggunaan tanah-tanah potensial serta menampung mobilitas penduduk tenaga kerja yang potensial.
c. pembangunan perumahan rakyat di daerah perkotaan ditujukan pada berbagai golongan pendapatan. Namun mengutamakan golongan masyarakat berpendapatan rendah dan tidak tetap dengan mengikutsertakan sebanyak mungkin sektor usaha swasta dan masyarakat golongan.
d. pengembangan perumahan rakyat di daerah perkotaan dapat dilakukan setempat dan dapat pula di tempat yang baru (Budihardjo, 1992:103).

e. Faktor Utama untuk Tertib Pembangunan Perumahan dan Permukiman

Menurut Budihardjo (1997: 64-65), dalam pembangunan perumahan dan permukiman ada faktor-faktor yang perlu diperhatikan agar dapat diperoleh kemanfaatan yang maksimal.
“Ada lima faktor utama yang saling berkaitan dan harus dijadikan pokok perhatian bagi tertib pembangunan permukiman, yaitu:
a. alam, antara lain menyangkut tentang :
1) pola tata guna tanah;
2) pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam;
3) daya dukung lingkungan dan taman;
4) area rekreasi atau olahraga.
b. manusia, antara lain menyangkut tentang:
1) pemenuhan kebutuhan fisik/fisiologis;
2) penciptaan rasa aman dan terlindung;
3) rasa memiliki lingkungan;
4) tata nilai dan estetika.
c. masyarakat, antara lain menyangkut tentang:
1) berperan sertanya (partisipasi penduduk);
2) aspek hukum;
3) pola kebudayaan;
4) aspek sosial ekonomi;
5) dan kependudukan.
d. wadah/sarana kegiatan, antara lain menyangkut tentang:
1) perumahan, pelayanan umum: puskesmas, sekolah;
2) fasilitas umum: toko, pasar, gedung pertemuan.
e. jaringan prasarana, antara lain menyangkut tentang:
1) utilitas: air, gas, listrik;
2) transportasi: darat, laut, udara;
3) komunikasi”.

Kelima faktor tersebut hanya dapat dipenuhi dengan penetapan lokasi pembangunan perumahan dan permukimann secara tepat. Adapaun penetapan lokasi perumahan yang baik, menurut Budihardjo (1998:109-110) perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. ditinjau dari segi teknis pelaksanaannya:
1) bukan daerah banjir, bukan daerah gempa;
2) mudah dicapai tanpa hambatan yang berarti;
3) tanahnya baik sehingga konstruksi bangunan yang ada dapat direncanakan dengan sistem yang semurah mungkin
4) mudah mendapat sumber air bersih, listrik, pembuangan sisa rumah tangga.
b. Ditinjau dari segi tata guna tanah
1) tanah yang tidak lagi produktif (bukan daerah persawahan, kebun, atau daerah pertokoan/pabrik/industri);
2) tidak merusak lingkungan yang telah ada;
3) mempertahankan tanah yang berfungsi sebagai reservoir air tanah;
c. ditinjau dari segi kesehatan dan kemudahan:
1) lokasinya sebaiknya jauh dari lokasi pabrik-pabrik yang dapat mendatangkan polusi;
2) lokasinya sebaiknya tidak terlalu terganggu oleh kebisingan;
3) lokasinya sebaiknya dipilih yang mudah untuk mendapatkan air minum, listrik, sekolah, pasar, puskesmas, dan lain-lain;
d. ditinjau dari segi ekonomis
1) menciptakan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat sekelilingnya;

Dengan demikian, lima faktor tertib pembangunan serta penetapan lokasi hendaknya perlu diperhatikan, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman agar tidak menimbulkan masalah pembangunan yang semakin komplek.

f. Hak Asasi di Bidang Perumahan dan Permukiman

Menurut Budihardjo, selain itu untuk meningkatkan kualitas permukiman diperlukan adanya pedoman-pedoman pokok dalam pengembangannya. Dimana pedoman-pedoman pokok tersebut dikenal dengan Hak Asasi Permukiman (“Habitat Bill of Right”), yang terdiri atas:
1. Hak Asasi untuk Lingkungan Permukiman meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. fisik lingkungan harus mencerminkan pola kehidupan dan budaya masyarakat setempat;
b. lingkungan pemukiman harus didukung oleh fasilitas pelayanan dan utilitas umum yang sebanding dengan ukuran/luasnya lingkungan dan banyaknya penduduk;
c. pada lingkungan pemukiman masyarakat berpenghasilan rendah sedapat mungkin tersedia pula wadah kegiatan yang dapat menambah penghasilan;
d. taman, ruangan terbuka/penghijauan harus cukup tersedia;
e. perencanaan tata letak pemukiman harus memanfaatkan topografis dan karakteristik alami dari tapak (site) setempat;
f. Jalan masuk lingkungan harus berskala manusia, ada pemisahan antara lalulintas dan pejalan kaki, sedapat mungkin diteduhi pohon-pohon rindang;
g. lingkungan pemukiman harus menunjang terjadinya kontak sosial, dapat menciptakan identitas dan rasa memiliki dari segenap penghuni.
2. Hak asasi untuk bangunan Perumahan meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. interior dan eksterior rumah harus mencerminkan nilai-nilai dan tata cara hidup penghuninya;
b. setiap rumah sedapat mungkin memiliki kamar mandi, WC dan tempat cuci sendiri yang memenuhi persyaratan kesehatan;
c. ukuran rumah dan pekarangan harus diperhitungkan atas dasar jumlah anggota keluarga dan kemungkinan pertumbuhannya;
d. setiap rumah paling tidak harus terbuka ke kedua arah agar dapat penghawaan silang dan pencahayaan alamiah;
e. setiap rumah harus memiliki taman tersendiri
f. batas pemilikan rumah/pekarangan harus cukup jelas dibedakan dari daerah publik (Budihardjo, 1996:65-66).

F. RTRW SEBAGAI KERANGKA PENGEMBANGAN WILAYAH PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN

“Khusus untuk planning atau perencanaan suatu pengembangan wilayah perlu diperhatikan:
a. pengembangan dan perluasan permukiman dan perumahan;
b. pengembangan dan perluasan komunikasi dan fasilitas untuk lalu lintas;
c. pengembangan dan perluasan layout suatu daerah yang belum berkembang;
d. dapat menjamin kondisi kesehatan, kebersihan, kenyamanan, dan ketenangan masyarakat (Parlindungan, 1993:41)”.

Dahuri dan Nugroho (2004:36) menyatakan pendapatnya mengenai konteks kegiatan penataan ruang dalam palaksanaan pembangunan, yaitu:
“kegiatan penataan ruang diselenggarakan untuk memanfaatkan aset kekayaan Indonesia secara terkoordinatif, terpadu, dan efektif dengan memperhatikan faktor-faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan, serta kelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk menopang pembangunan nasional demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur”.

Sehubungan dengan pendapat di atas dalam hubungannya dalam pengembangan wilayah perumahan dan permukiman, RTRW dapat dijadikan sebagai pedoman penataan ruang untuk perumahan dan permukiman. Tarigan (2004:47) menyatakan bahwa “penataan ruang sebagai dasar untuk mencegah penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya (daya dukungnya)”.
Selanjutnya Blaang (1986:3) juga memberikan arahan bahwa “pembangunan perumahan dan permukiman meliputi pembangunan perumahan di atas wilayah permukiman yang ditata dengan perencanaan yang lebih baik sesuai dengan tata ruang dan tata guna tanah dengan dilengkapi sarana dan prasarana lingkungan akan menciptakan suatu permukiman fungsional bagi kehidupan”.
Dengan demikian dapat kita ketahui betapa pentingnya pengembangan wilayah perumahan dan permukiman yang didasarkan para RTRW untuk mewujudkan suatu wilayah perumahan dan permukiman yang fungsional bagi kehidupan. Karena melalui perencanaan tata ruang wilayah akan didapatkan suatu pemanfaatan ruang, dimana kegiatan pemanfaatan ruang tersebut diselenggarakan untuk memanfaatkan sumberdaya secara terkoordinasi, terpadu, dan efektif dengan memperhatikan segala faktor pendukung dan penghambatnya. Namun apabila mengabaikan RTRW yang telah ditetapkan maka akan mendorong ke arah ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah dan ketidaklesatarian mutu dan kemampuan hidup. Dengan demikian, jelaslah bahwa penataan ruang dalam hubungannya dengan pengembangan wilayah perumahan dan permukiman, sangat diperlukan untuk mencegah penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya (daya dukungnya) serta pemanfaatan sumber daya alam yang dapat dikendalikan guna mencapai keserasian dan keseimbangan agar tidak melampaui daya dukung lingkungannya.

G. PENDAYAGUNAAN POTENSI WILAYAH

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:189), pendayagunaan diartikan sebagai pengusahaan agar mampu mendatangkan hasil dan manfaat. Sedangkan potensi diartikan sebagai kemampuan yang mempunyai kemungkinan dikembangkan. Dari pengertian tersebut maka dapat diketahui bahwa pendayagunaan potensi adalah suatu usaha untuk dapat memberikan atau mendatangkan hasil dan manfaat. Sedangkan pengertian wilayah, sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya adalah suatu area geografis yang memiliki ciri tertentu dan merupakan media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi (Nugroho dan dahuri, 2004:9).
Dengan demikian jika dikaitkan dengan definisi pendayagunaan maupun potensi, maka pendayagunaan potensi wilayah, berarti segala usaha yang dilakukan untuk memanfaatkan dan menghasilkan kemampuan yang dimiliki oleh suatu wilayah yang dimungkinkan dapat untuk dikembangkan.
Di era desentralisasi setiap daerah yang sedang melaksanakan pembangunan dituntut untuk mengembangkan potensi wilayahnya melalui perencanaan yang matang, yang biasanya diwujudkan melalui rencana umum tata ruang wilayah kota. “Dalam kegiatan penataan ruang tersebut, berbagai sumber daya alam ditata sebagai satu kesatuan lingkungan hidup yang memperhatikan keseimbangan antara satu bentuk pemanfaatan terhadap bentuk pemanfaatan yang lain” (Dahuri dan Nugroho, 2004:326-327).
Sehubungan dengan pendayagunaan potensi wilayah dalam pembangunan daerah, Kazlouski mengungkapkan bahwa “Salah satu unsur paling esensial dalam perencanaan tingkat nasional, regional maupun lokal adalah menetapkan kemungkinan pengembangan dengan prioritas teratas harus mengacu pada usaha pemanfaatan yang paling efisien dari sumber daya manusia dan sumber daya alam yang tersedia” (Sujarto 2003:72).

BAB III
METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian tersebut digunakan untuk mengeksplorasi (menemukan) dan menjelaskan fenomena yang sedang terjadi dalam masyarakat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Moleong (2000:6), bahwa penelitian deskriptif adalah penelitian yang berupaya mengungkapkan suatu masalah dan keadaan sebagaimana adanya, untuk itu peneliti dibatasi hanya mengungkapkan fakta-fakta dan tidak menggunakan hipotesa. Sedangkan pendekatan kualitatif menurut Bogdan dan Taylor sebagaimana dikutip Moleong (2000:3) adalah “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati”.
Berkaitan dengan permasalahan yang diajukan, jenis penelitian deskriptif yang digunakan penulis bertujuan untuk meneliti, mengetahui dan menggambarkan proses penyusuan RTRW Kota Malang, RTRW Kota Malang, pemilihan dan penentuan wilayah di Kota Malang yang mempunyai potensi untuk dikembangkannya wilayah perumahan dan permukiman, serta hambatan dan peluang dalam upaya pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang.

B. FOKUS PENELITIAN

Fokus penelitian menurut Moleong (2000:237) sangat diperlukan dalam kegiatan penelitian karena penentuan fokus penelitian mempunyai dua tujuan, yaitu: (1) penetapan fokus penelitian akan membatasi studi yang dibahas oleh peneliti; dan (2) penetapan fokus penelitian berfungsi untuk memenuhi kriteria inklusi-eksklusi (memasukkan - mengeluarkan) suatu informasi yang diperoleh di lapangan.
Sehubungan dengan pokok permasalahan yang akan diteliti, maka yang menjadi fokus penelitiannya adalah:
1. Proses penyusunan RTRW Kota Malang.
2. RTRW Kota Malang
a. Struktur Ruang
b. Pola Pemanfaatan Ruang
c. Pola Pengendalian Ruang
d. Perencanaan Pembangunan Perumahan dan Permukiman
3. Perencanaan Kawasan strategis bagi pengembangan wilayah perumahan dan permukiman berdasarkan potensi wilayah dilihat dari :
a. Jenis tanah
b. Kemiringan lahan
c. Kedalaman efektif tanah
d. Daya dukung Fisik Tanah
4. Faktor yang berperan dalam pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang.

C. LOKASI DAN SITUS PENELITIAN

Lokasi penelitian adalah tempat dimana peneliti menggambarkan kejadian yang sebenarnya dari obyek atau fenomena yang diteliti. Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di wilayah Kota Malang. Adapun alasan yang menjadi pertimbangan penulis memilih lokasi penelitian di Kota Malang, karena kota ini sekarang telah berkembang sedemikian pesatnya dengan laju pertumbuhan penduduk yang makin tinggi sehingga kebutuhan akan perumahan dan permukiman pun meningkat yang secara otomatis diikuti kebutuhan akan ruang yang semakin mendesak. Untuk itu guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan perumahan maka dilakukan pembangunan perumahan dan permukiman di berbagai penjuru Kota. Dimana dalam pelaksanaannya dimasa yang akan datang diharapkan adanya suatu pemanfaatan ruang melalui perencanaan yang matang dengan berpedoman pada RTRW yang telah ditetapkan, sehingga segala potensi wilayah dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah perumahan dan permukiman dapat didayagunakan secara optimal.
Sedangkan situs penelitian adalah tempat dimana peneliti mendapatkan yang sebenarnya tentang obyek yang diteliti sehingga tujuan penelitian dapat tercapai.
Adapun yang menjadi situs dalam penelitian ini adalah:
1. Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Kota Malang
2. Kantor Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Kota Malang

D. SUMBER DAN JENIS DATA

Yang dimaksud dengan sumber data adalah berkaitan dengan sumber-sumber penyediaan informasi yang mendukung dan menjadi pusat perhatian penulis. Sebagaimana diungkapkan oleh Lofland dan Lofland sebagaimana dikutip Moleong (2000:112), sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata atau tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen-dokumen. Hal ini dikarenakan dalam penelitian kualitatif cenderung mengutamakan wawancara dan pengamatan langsung dalam memperoleh data yang bersifat tambahan.
Adapun data-data yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu:

1. Data Primer
Yaitu data-data yang langsung diperoleh dari hasil wawancara atau interview dengan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam proses penyusunan RTRW serta pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang, yaitu:
a. Kepala dan / staff Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Kota Malang.
b. Kepala dan / staff Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah Kota Malang.
2. Data Sekunder
Yaitu data-data yang diperoleh secara tidak langsung dari obyek atau fenomena yang dikaji, tidak diusahakan melainkan diperoleh dari pihak lain. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari: dokumen-dokumen, buku, laporan-laporan dan situs internet yang relevan dengan fokus penelitian ini.

E. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan dua teknik dalam pengumpulan data yaitu:
1. Wawancara (interview)
Wawancana (interview) merupakan cara memperoleh data dan informasi dari narasumber dengan melakukan tanya jawab secara langsung yang berhubungan dengan obyek penelitian.

2. Observasi
Teknik pengumpulan data dengan melihat dan memperhatikan secara langsung pada obyek yang diteliti.
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan cara memperoleh data dengan mempelajari, mencatat atau membuat salinan dari dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang berhubungan dengan obyek atau permasalahan penelitian.

F. INSTRUMEN PENELITIAN

Instrumen penelitian merupakan alat yang memegang peranan penting dalam melakukan penelitian. Ketepatan dalam menggunakan instrumen penelitian merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan penelitian. Dalam penelitian ini instrumen penelitian yang dipakai adalah:
1. Peneliti sendiri
Hal ini sesuai dengan metode penelitian yang dipakai yaitu metode penelitian kualitatif, dimana pengumpulan data lebih bergantung pada peneliti sendiri. Disini peneliti sebagai instrumen utama (instrumen guide) dengan menggunakan panca indra untuk menyaksikan dan mengamati obyek atau fenomena dalam penelitian ini.
2. Pedoman Wawancara (Interview Guide)
Yaitu serangkaian pertanyaan yang akan ditanyakan kepada responden yang mana hal ini digunakan sebagai petunjuk saat melakukan wawancara.
3. Field Note ( Catatan Lapangan )
Catatan ini dibuat setelah peneliti mengadakan pengamatan ataupun wawancara. Catatan ini merupakan hasil dari penelitian yang didengar, dilihat dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan refleksi data dalam penelitian kualitatif.

G. ANALISIS DATA

Menurut Taylor sebagaimana dikutip oleh Moleong (2000:103), analisis data adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.
Sesuai dengan jenis penelitiannya, maka penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, dimana setelah data yang terkumpul tersebut diolah kemudian dianalisa dengan memberikan penafsiran berupa uraian atas data tersebut.
Adapun tahap-tahap dalam analisis data kualitatif yang akan dilakukan penulis dalam penelitian ini terdiri dari tiga kegiatan, sebagaimana diungkapkan oleh Miles dan Huberman (2000:49) yang menyatakan bahwa analisis kualitatif terdiri dari :
1. Data Reduction, adalah proses penelitian, pemberian fokus, penyederhanaan, abstraksi dan transformasi data mentah (raw data) yang terdapat dalam buku catatan lapangan. Data reduction ini berlangsung secara terus menerus dalam keseluruhan perjalanan proyek penelitian yang tujuannya adalah mempertajam, menyoroti, menetapkan fokus dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat ditarik atau diverifikasikan.
2. Data Display, adalah susunan informasi yang terorganisir, yang memungkinkan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan memeriksa display akan memudahkan memaknai apa yang harus dilakukan (analisis lebih lanjut atau tindakan) yang didasarkan pada pemahaman tersebut. Bentuk yang paling umum digunakan adalah teks uraian.
3. Conclution Drawing atau Verification. Akhir dari kegitan analisis adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan akhir baru ditarik setelah tidak ditemukan informasi lagi mengenai kasus yang diteliti. Kemudian kesimpulan yang telah ditarik akan diverifikasi baik dengan kerangka pikir penulis atau peneliti maupun dengan catatan lapangan yang ada hingga tercapai konsensus pada tingkat optimal pada peneliti dengan sumber-sumber informasi maupun dengan kolega peneliti. Dalam artian, maka yang akan muncul dari data yang telah diuji dengan beberapa cara sehingga diperoleh validitas dan akuratisasinya.

Sedangkan untuk mengetahui potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah tertentu, digunakan teknik scalling dan rescalling yang merupakan standard yang dipakai oleh PBB, khususnya UNESCO. Yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

Dimana,
N : Nilai dari wilayah yang diselidiki
Nmin : Nilai terendah dari keseluruhan wilayah
Nmax : Nilai tertinggi dari keseluruhan wilayah
K : Konstanta ( angka 100 sebagai konstanta )
Untuk memudahkan pengklasifikasian perlu pembagian dakam kelas-kelas atau interval. Pembagian kelas menggunakan aturan Strugess yang dapat kita lihat pada Tabel 1.
Tabel 1
Klasifikasi Penilaian Scalling dan Rescalling

Nilai Scalling Rescalling Klasifikasi Kriteria Penilaian
8,33 – 100 I Sangat Baik
66,66 – 83,32 II Baik
49,99 – 66,65 III Cukup Baik
33,33 – 49,98 IV Sedang
16,66 – 33,32 V Kurang
00,00 – 16,65 VI Sangat Kurang

Tahapan Rencana Analisis Penelitian adalah :
1. Data yang diperoleh disajikan kembali
2. Dari data tersebut kemudian dianalisa dengan teknik scalling dan rescalling.
3. Setelah data di scalling dan direscalling, data kemudian dikategorikan mulai dari yang sangat baik sampai dengan yang sangat kurang.
4. Kemudian ditarik kesimpulan dalam bentuk kata-kata atau gambar untuk memudahkan pembaca memahami hasil penelitian ini.

BAB IV
PEMBAHASAN

A. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
1. Kondisi Fisik Wilayah
a. Kondisi Geografis
Kota Malang sebagai kota besar di Jawa Timur merupakan kota yang berada di bagian tengah Propinsi Jawa Timur berada pada bagian 112°34'13" - 112°41'39" Bujur Timur dan 7°54'40" - 8°3'5" Lintang Utara. Terdiri dari 5 kecamatan dengan 57 kelurahan, dengan luas wilayah Kota Malang 110.056,6 Km² (11.056,66 ha). Adapun batas-batas wilayah Kota Malang adalah:
- Sebelah Utara : Kecamatan Karang Ploso dan Singosari Kabupaten Malang
- Sebelah Timur : Kecamatan Pakis dan Tumpang Kabupaten Malang
- Sebelah Selatan: Kecamatan Tajinan dan Pakisaji Kabupaten Malang
- Sebelah Barat : Kecamatan Wagir dan Kecamatan Dau Kabupaten Malang
b. Kondisi Topografi dan Ketinggian Tanah
Secara keseluruhan, Kota Malang memiliki daratan rata-rata lebih tinggi dari wilayah lainnya di Propinsi Jawa Timur. Kota Malang berada di ketinggian 450 hingga 650 meter diatas permukaan air laut (dpl). Dengan tingkat ketinggian tersebut Kota Malang juga memiliki tingkat kemiringan lahan yang cukup beragam dari 3° hingga 15° dengan wilayah kemiringan di bagian Utara, Tengah dan Selatan kota, rata-rata memiliki lahan sebesar 3° hingga 5° pada bagian Timur dan Barat memiliki tingkat kemiringan lahan 5° hingga 15°.
c. Kondisi Geologi dan Jenis Tanah
Kota Malang dibentuk dari induk batuan volkanik coklat dan bantuan endapan (alluvial). Bahan induk tersebut terbentuk dengan fisiografi yang relatif tinggi. Bahan induk alluvial terdapat pada wilayah bagian barat dan tenggara sedangkan bahan induk mediteran terdapat pada bagian lainnya. Berdasar atas kondisi geologi di Kota Malang, wilayah ini memiliki beberapa jenis tanah, yaitu antara lain: Jenis Alluvial kelabu kehitaman seluas 6.429.533 Ha. Kemudian jenis mediteran coklat seluas 1.136.643 Ha, jenis tanah Asosiasi latosol coklat kemerahan dan grey coklat seluas 1.081.838 Ha dan jenis andosol coklat dan grey humus seluas 1.637.626 Ha.
Jenis tanah alluvial mencapai 58.49% merupakan tanah yang sangat baik untuk pertanian, karena mengandung mineral yang cukup untuk tumbuhan. Demikian pula untuk bangunan, jenis tanah ini cukup kuat daya tahannya, karena merupakan endapan tanah liat yang bercampur pasir halus, sehingga sangat cocok sebagai tempat mendirikan bangunan.
Jenis tanah asosiasi latosol coklat kemerahan dan grey coklat (16,37%) mempunyai sifat yang mudah longsor dan mempunyai drainase yang jelek. Jenis tanah ini kurang baik untuk tempat mendirikan bangunan karena selalu terancam bahaya. Sedangkan jenis tanah mediteran coklat (10,32%) merupakan jenis tanah yang memiliki karakteristik tahan menahan. Dan untuk jenis andosol coklat dan grey humus (14.82%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2
Penyebaran Jenis Tanah Di Wilayah Kota Malang (Ha)

No Jenis Tanah Lokasi/Kelurahan Luas Prosentase
1. Mediteran Coklat Karang Besuki, Pisang Candi, Gading Kasri, Bandulan, Tanjungrejo, Sukun, Mulyorejo, Bakalan Krajan. 1.136.643 10,32 %
2. Alluvial Kelabu Kehitaman Balearjosari, Polowijen, Arjosari, Tunjungsekar, Pandanwangi, Blimbing, Ourwodadi, Tulusrejo, Purwantoro, Penanggungan, Sekarjati, Samaan. 6.429.533 58,49%
3. Assosiasi Andosol Coklat dan Grey Humus Tlogomas, Merjosari, Dinoyo, Ketawanggede, Tunggulwulung, Jatimulyo, Tasikmadu, Tunjungsekar, Mojolangu. 1.637.626 14.82%
4. Assosiasi Latosol Coklat dan Grey Coklat Cemorokandang, Kedungkandang, Kasin, Buring, Sukun, Bumiayu, Wonokoyo, Arjowinangun. 1.081.838 16,37%
Sumber : BAPPEKO Malang 2003
d. Kondisi Hidrologi
Di wilayah Kota Malang mengalir beberapa sungai yang relatif cukup besar yaitu Sungai Brantas dengan anak sungainya yaitu sungai Metro, Sukun, Bango dan Amprong. Sungai-sungai tersebut berfungsi sebagai drainase utama Kota Malang dan menjadi saluran utama limpasan air hujan untuk mencegah genangan banjir terjadi di kota ini.
Secara garis besar daerah aliran sungai dikelompokkan dalam tiga bagian besar wilayah tangkapan hujan yaitu Malang Utara, Malang Barat, dan Malang Selatan. Wilayah tangkapan air hujan Malang Utara sebagian besar adalah DAS (Daerah Aliran Sungai) Bango dan Amprong. Wilayah tangkapan air hujan Malang Barat adalah DAS Brantas dan wilayah tangkapan air hujan Malang Selatan merupakan DAS Brantas bagian Selatan dan Sungai Metro dan Sukun. Untuk pemanfaatan air baku terutama air tanah dalam air bawah tanah di Kota Malang dapat dibagi menjadi dua wilayah yaitu wilayah Malang Timur dan wilayah Malang Barat.
e. Kondisi Klimatologi
Kota Malang terletak di wilayah yang beriklim tropis dengan tiga jenis musim, yaitu penghujan, kemarau dan lembab. Musim penghujan terjadi pada bulan November sampai April, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Juli sampai September dan musim lembab pada bulan Mei, Juni, dan Oktober. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November hingga bulan Maret, sedangkan lainnya relatif rendah.
Dari rata-rata curah hujan tahunan, Kota Malang dapat dibedakan menjadi 3 wilayah, yaitu:
- wilayah dengan curah hujan tahunan kurang dari 1500 mm/tahun. Wilayah dengan curah hujan tersebut terdapat pada bagian Timur Kota Malang.
- Wilayah dengan curah hujan 1500 – 1750 mm/tahun. Wilayah dengan curah hujan tersebut berada pada bagian barat Laut Kota Malang.
- Wilayah dengan curah hujan 1750 - 2000 mm/tahun. Wilayah dengan curah hujan tersebut berada pada bagian Tengah Kota, Barat Daya Kota Malang.
Suhu udara Kota Malang merupakan udara sejuk, dingin, dan kering dengan rata-rata suhu terendah di wilayah Kecamatan Klojen, Blimbing, Kedungkandang dan Sukun. Sedangkan suhu 26°C berada di Kecamatan Lowokwaru.

2. KEPENDUDUKAN
Berdasarkan hasil registrasi jumlah penduduk pada akhir tahun, jumlah penduduk Kota Malang per 31 Desember 2003 sebesar 780.863 jiwa. Kepadatan penduduk mencapai 7.095 per kilometer persegi dengan tingkat pertumbuhan 1,63% per tahun, yang tersebar di 5 kecamatan yaitu Kecamatan Blimbing, Kedungkandang , Klojen, Lowokwaru, dan Sukun.
Kriteria kepadatan penduduk di Kota Malang didasarkan pada standar yang ada, yaitu :
- Kepadatan penduduk rendah sebanyak 50 – 100 jiwa / Ha.
- Kepadatan penduduk sedang sebanyak 100 – 200 jiwa / Ha.
- Kepadatan penduduk tinggi sebanyak > 200 jiwa / Ha.
Persebaran jumlah penduduk di Kota Malang pada umumnya tidak merata. Seperti halnya di kota-kota lainnya yang tingkat kepadatan penduduk terbesar berada di pusat kota, yaitu di Kecamatan Klojen, sedangkan tingkat kepadatan penduduk paling rendah berada di Kecamatan Kedungkandang. Jumlah kepadatan penduduk inilah yang nantinya akan menentukan persebaran pembangunan perumahan dan permukiman di Kota Malang. Untuk lebih jelasnya mengenai tingkat kepadatan penduduk di Kota Malang dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3
Luas Daerah dan Kepadatan Penduduk di Kota Malang Per Km²
Menurut Kecamatan Pada Tahun 2003

No Kecamatan Luas (Km²) Jumlah Penduduk (jiwa) Kepadatan (jiwa/Km²)
1.
2.
3.
4.
5. Blimbing
Kedungkandang
Klojen
Lowokwaru
Sukun 17,77
39,89
8,83
22,60
20,97 162,352
163,326
110,506
179,162
165,517 9,136
4,094
12,515
7,928
7,893
JUMLAH 110,06 780,863 7,095
Sumber : BPS, Malang Dalam Angka 2003

Kepadatan penduduk di Kota Malang tersebut dipengaruhi oleh persebaran fasilitas kota. Sebagaimana kita ketahui bahwa kepadatan penduduk yang paling tinggi adalah di Kecamatan Klojen yaitu sebagai pusat kota, dimana pada kecamatan tersebut ketersediaan akan fasilitas dan pelayanan kota sangat lengkap.
Jumlah penduduk yang datang/masuk ke Kota Malang pada tahun 2003 sebesar 25.327 jiwa, sedangkan jumlah penduduk yang pindah/keluar sebesar 19.343 jiwa. Berdasarkan pengurangan jumlah penduduk yang datang/masuk dengan penduduk yang pindah/kluar maka Net Migrasi (perpindahan penduduk bersih) mencapai 5.984 jiwa. Dengan jumlah penduduk yang datang lebih besar dibandingkan yang kluar maka tingkat kepadatan penduduk di Kota Malang semakin tinggi sehingga menyebabkan kebutuhan terhadap perumahan dan permukiman semakin besar.
Pola pembangunan yang tidak merata menyebabkan ketimpangan kemajuan pembangunan di wilayah Kota Malang yang kemudian berimbas pada meningkatnya jumlah penduduk miskin di Kota Malang. Dimana jumlah penduduk miskin yang ada di Kota Malang sebesar pada tahun 2003 sebesar 72.120 orang, dengan jumlah penduduk miskin terbanyak berada di Kecamatan Kedungkandang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4
Garis Kemiskinan dan Prosentase Penduduk Miskin
Kota Malang Pada Tahun 2003

No. Kecamatan Garis kemiskinan (Rp) Jumlah Penduduk Miskin
(Jiwa) Prosentase penduduk Miskin (%)
1.
2.
3.
4.
5. Blimbing
Kedungkandang
Klojen
Lowokwaru
Sukun 130.573/kpt/bln
130.573/kpt/bln
130.573/kpt/bln
130.573/kpt/bln130.573/kpt/bln 12.023
21.125
10.130
11.913
16.929 7,58
14,06
8,62
7,07
10,04
Jumlah 72.120 9,53
Sumber : BPS, Malang dalam Angka 2003

3. PENGGUNAAN LAHAN
Pada dasarnya penggunaan lahan di Kota Malang dibedakan dalam dua kelompok yaitu untuk kawasan terbangun dan kawasan tidak terbangun. Hingga saat ini penggunaan tanah di Kota Malang didominasi oleh kawasan terbangun, terutama untuk perumahan dan fasilitas umum.
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai gambaran penggunaan lahan di Kota Malang pada masing-masing kecamatan dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5
Penggunaan Lahan Di Kota Malang Tahun 2003 (Ha)

No PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN
TOTAL
Area Terbangun Kd.Kandang Sukun Klojen Blimbing Lw.Waru
1.
2.
3.
4.
5.
6.

7.
8.
9.
10.
11.
12.

13.
14.
15.
16.
17.
18.
19. Perumahan
Lap. Olah raga
Taman kota
RTH
Kuburan
Perkantoran pemerintah

Perkantoran swasta
Srn. Pendidikan
Srn. Kesehatan
Srn. Ibadah
Srn. Perhubungan
Fasilitas perkantoran lainya
Jasa keuangan
Pasar
Pertokoan
Pergudangan
Tempat hiburan
Hotel/Losmen
Industri rakyat/ rumah tangga
939,626
4,43
1,4664
0
20,755
5,7287

0,7563
31,2215
0,8201
3,5209
5,207
168,3374

0
1,9365
8,4284
4,2772
0,3484
0,1575
5,6024
787,24
20,77
0,15
1,37
21,20
14,87

0,41
41,08
8,41
1,52
5,35
116,23

0,75
2,35
9,85
12,66
0,34
0,00
71,10 574,56
15,21
7,20
2,43
10,14
25,90

2,65
39,31
13,77
3,67
8,15
82,08

2,57
5,16
35,21
0,00
4,46
5,96
0,16
747,899
15,2575
1,9291
0,18
23,6974
129,461

1,2588
26,5942
0,4375
3,7564
6,3062
153,616

0,25
2,1741
7,8735
1,1811
0,068
0,475
69,8584
670,39
10,03
0,43
3,41
28,17
9,62

0,00
117,10
5,96
5,82
0,99
256,87

0,38
3,86
14,62
2,50
2,67
1,05
3,53 3719,71
65,70
11,27
7,39
103,96
185,58

5,07
255,31
29,39
18,29
26,00
777,13

3,94
15,48
75,98
20,62
7,88
7,65
150,25

Area tak Terbangun
20.
21.
22.
23.
24.
25.
Sawah
Tegalan
Kebun
Tanah perikanan
Tanah peternakan
Tanah kosong diperuntukan

744,80
2004,96
0,28
0,28
0,00
36,41 606,10
287,20
0,00
1,04
0,08
86,50
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
43,93 284,88
108,06
0,00
0,00
0,00
191,45 706,91
262,72
0,00
0,00
0,00
153,45 2342,69
2662,94
0,28
1,32
0,08
511,74
TOTAL 3989,46 2096,57 882,50 1776,65 2260,48 11005,66
Sumber : BPS, Malang Dalam Angka 2003
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2003 kawasan terbangun berupa perumahan dan permukiman telah mendominasi penggunaan tanah di Kota Malang yaitu seluas 3.719,71 Ha atau setara dengan 1/3 luas wilayah Kota Malang, dimana keberadaannya tersebar di seluruh penjuru Kota Malang dengan intensitas dan kondisi yang beragam.

B. GAMBARAN SITUS PENELITIAN
1. Badan Perencanaan Pembangunan Kota (BAPPEKO) Malang
Tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) BAPPEKO Malang di atur dalam Surat Keputusan Walikota Malang nomor 349 tahun 2004. Adapun tugas pokok BAPPEKO Malang adalah melaksanakan kewenangan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah sesuai dengan kebijakan Kepala daerah. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut maka BAPPEKO Malang mempunyai fungsi :
a. Perumusan kebijakan teknis di bidang perencanaan pembangunan daerah dan meneliti serta pengembangan daerah;
b. Penyusunan dan pelaksanaan strategis dan rencana kerja tahunan di bidang perencanaan teknis pembangunan daerah, penelitian dan pengembangan daerah;
c. Pelaksanaan evaluasi rencana strategis dan rencana kerja tahunan perangkat daerah sebagai bahan penyusunan rencanan kerja tahunan daerah;
d. Pelaksanaan kegiatan pendataan, penelitian dan pengembangan sebagai bahan penyusunan perencanaan pembangunan daerah di bidang sosial budaya, ekonomi fisik dan prasarana;
e. Pelaksanaan penyusunan laporan pertanggungjawaban kepada kepala daerah;
f. Pelaksanaan monitoring dan pelaporan pelaksanaan pembangunan di daerah;
g. Pengelolaan administrasi umum yang meliputi penyusunan program, ketatalaksanaan, ketatausahaan, keuangan, kepegawaian, rumah tangga, perlengkapan, kehumasan, dan perpustakaan serta kearsipan;
h. Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas dan fungsi;
i. Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, organisasi BAPPEKO Malang terdiri atas tiga unsur dan satu kelompok jabatan fungsional, antara lain :
a. Unsur Pimpinan yaitu Kepala Badan
b. Unsur Pembantu Pimpinan yaitu Bagian Tata Usaha, yang terdiri dari :
1) Sub Bagian Keuangan dan Penyusunan Program
2) Sub Bagian Umum
c. Unsur Pelaksana, yang terdiri dari :
1) Bidang Pendataan, Penelitian dan Pengembangan, terdiri dari :
a) Sub Bidang Pendataan dan Pelaporan
b) Sub Bidang Penelitian dan Pengembangan
2) Bidang Sosial Budaya dan ekonomi, terdiri dari :
a) Sub Bidang Sosial Budaya
b) Sub Bidang Ekonomi
3) Bidang Fisik dan Prasarana, terdiri dari :
a) Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan
b) Sub Bidang Prasarana dan Sarana Perkotaan
d. Kelompok Jabatan Fungsional
Bagian dan masing-masing bidang dipimpin oleh sesorang Kepala Bagian dan Kepala Bidang yang dalam melaksanakan tugasnya berada dibawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Badan.
Struktur organisasi Badan Perencanaan Pembangunan Kota Malang dapat dilihat pada Gambar 1.

2. Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah (KIMPRASWIL) Kota Malang
Tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah diatur dalam Surat Keputusan Walikota Malang nomor 334 tahun 2004. Adapun tugas pokok Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah adalah meyelenggarakan sebagian kewenangan daerah di bidang Permukiman dan Prasarana Wilayah sesuai dengan kebijakan Kepala Daerah. Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, maka dinas ini mempunyai fungsi :
a. Perumusan kebijakan teknis di bidang permukiman dan prasarana wilayah;
b. Penyusunan dan pelaksanaan rencana strategis dan rencana kerja tahunan di bidang permukiman dan prasarana wilayah;
c. Pelaksanaan pendataan dan penyusunan perencanaan teknis di bidang permukiman dan prasarana wilayah;
d. Pelaksanaan pembangunan dan pemeliharaan jalan, jembatan, drainase, perumahan, permukiman, dan prasarana wilayah;
e. Pelaksanaan penetapan status dan fungsi jalan;
f. Pelaksanaan pembangunan dan pemeliharaan gedung Daerah dan rumah dinas;
g. Pemberian pertimbangan teknis perijinan bidang permukiman dan prasarana wilayah;
h. Pemberian pertimbangan teknis Ijin Mendirikan Bangunan (IMB);
i. Pelaksanaan pencegahan, pengendalian dan penanggulangan kebakaran;
j. Pelaksanaan pengujian mutu bahan bangunan dan perbengkelan;
k. Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di bidang permukiman dan prasarana wilayah;
l. Pemberdayaan dan peningkatan kinerja Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD);
m. Pengelolaan administrasi umum yang meliputi penyusunan program, ketatalaksanaan, ketatausahaan, keuangan, kepegawaian, rumah tangga, perlengkapan, kehumasan, dan perpustakaan serta kearsipan;
n. Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas dan fungsi;
o. Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah sesuai dengan bidang tugas dan fungsinya;
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya agar berjalan maksimal, maka organisasi Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah terdiri dari tiga unsur, satu UPTD dan satu Kelompok Jabatan Fungsional, antara lain :
a. Unsur Pimpinan yaitu Kepala Dinas;
b. Unsur Pembantu Pimpinan yaitu Bagian Tata Usaha yang terdiri dari:
1) Sub Bagian Keuangan dan Penyusun Program
2) Sub Bagian Umum
c. Unsur Pelaksana yaitu:
1) Bidang Perencanaan Teknis dan Tata Bangunan;
a) Seksi Perencanaan Teknis;
b) Seksi Tata Bangunan.
2) Bidang Jalan, Jembatan dan Drainase, terdiri dari :
a) Seksi Pembangunan Jalan, Jembatan dan Drainase;
b) Seksi Pemeliharaan jalan, Jembatan, dan Drainase.
3) Bidang Permukiman, terdiri dari :
a) Seksi Peningkatan Kualitas Lingkungan;
b) Seksi Prasarana dan Sarana Permukiman.
4) Bidang Gedung Daerah, terdiri dari :
a) Seksi Pembangunan Gedung Daerah;
b) Seksi Pemeliharaan Gedung Daerah.
d. Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD)
e. Kelompok Jabatan Fungsional.
Adapun struktur organisasi Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah (KIMPRASWIL) Kota Malang dapat dilihat pada Gambar 3 :

B. PENYAJIAN DATA FOKUS

1. PROSES PENYUSUNAN RTRW KOTA MALANG TAHUN 2001 – 2011

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bpk. Wihartojo selaku Kepala Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Di Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Kota Malang pada hari Rabu, tanggal 15 Oktober 2005 pkl. 10.00, kegiatan penyusunan RTRW Kota Malang tahun 2001 – 2011 terdiri dari tahap persiapan, pengumpulan data, analisis, penyusunan draft RTRW, diskusi terbuka, serta tahap pengesahan oleh DPRD. Secara rinci mengenai tahapan penyusunan RTRW Kota Malang tahun 2001 – 2011 adalah :
a. Tahap Persiapan
Pada tahap persiapan ini ada beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain :
- Penetapan biaya penyusunan RTRW dalam APBD
- Pembentukan tim penyusunann RTRW yang terdiri dari Bappeko sebagai ketua dan penanggungjawab kegiatan, dan anggotanya terdiri dari instansi terkait.
- Penyusuan TOR oleh BAPPEKO
- Penyiapan pengadaan jasa tenaga konsultan. Biasanya tenaga konsultan ini adalah tenaga ahli dari perguruan tinggi (ITN dan Brawijaya). Tugas konsultan dalam penyusunan RTRW ini adalah menyusun evaluasi RTRW berdasarkan TOR yang ditetapkan Bappeko Malang.
b. Pengumpulan Data
Sebelum dilakukan pengumpulan data diadakan kegiatan review terhadap RTRW Kota Malang sebelumnya yang dilakukan oleh konsultan, dimana review tersebut mencakup :
- Evaluasi RTRW Kota Malang tahun 1993-1998 dari aspek peraturan perundang-undangan serta standar pedoman teknis penyusunan RTRW yang berlaku.
- Evaluasi RTRW Kota Malang tahun 1993-1998 dari aspek alat pengendalian pembangunan kota.
- Evaluasi perkembangan pemanfaatan ruang kota dan struktur pola pemanfaatan ruang.
Pengumpulan data ini pun juga dilakukan oleh para konsultan, dimana pengumpulan data ini dilakukan melalui survei primer (yaitu observasi lapangan dan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait yaitu instansi, swasta, dan masyarakat yang biasanya diwakili LSM) dan survei skunder yang dilakukan pada instansi-instansi guna memperoleh data yang dibutuhkan. Antara lain mencakup : data potensi wilayah, data sosial ekonomi masyarakat, data kondisi sumberdaya manusia, data kondisi sumberdaya buatan, kondisi sumberdaya alam, data penggunaan lahan, pembiayaan pembangunan, serta data kelembagaan. Selain data tersebut juga dikumpulkan mengenai :
- Data mengenai pemanfaatan ruang perkotaan yang sudah berlangsung dan kemudian dibandingkan dengan strategi dan rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang kota.
- Data mengenai kebijaksanaan-kebijaksanaan eksternal yang ada, serta kajian mengenai pengaruhnya terhadap strategi, struktur dan pola pemanfaatan ruang kota.
Menurut Bpk. Wihartojo pada tahap pengumpulan data, khususnya pada pengumpulan data/peta dari instansi-instansi terdapat kendala, yaitu mengenai validitas dan kelengkapan data.
c. Tahap analisis
Pada tahap ini dilakukan analisis dan pengkajian terhadap data-data yang terkumpul dari hasil survei. Menurut Bpk. Wihartojo :
“tahap ini mempunyai peranan penting untuk pengidentifikasian potensi dan permasalahan dari data-data yang terkumpul”.

d. Tahap Penyusunan Draft RTRW
Pada tahap ini dilakukan penyusunan draft RTRW Kota Malang oleh konsultan bersama BAPPEKO, kemudian draft RTRW tersebut dilengkapi dengan peta-peta dengan tingkat ketelitian 1: 100.000 yang mencakup :
- Rencana struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang
- Rencana pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya.
- Rencana sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan.
- Rencana penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumberdaya alam lainnya.
Selain itu juga disusun mengenai rencana pengendalian pemanfaatan ruang dan kebijaksanaan-kebijaksanaannya.
e. Tahap Diskusi terbuka
Diskusi terbuka ini dilakukan untuk membahas draft RTRW, dilakukan dengan semua stakeholders yang terdiri dari pemerintah, yaitu instansi terkait (mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan hingga kota), DPRD, perguruan tinggi, masyarakat (swasta/investor dan LSM). Dalam hal ini para stakeholders dapat memberikan masukan, informasi maupun mengajukan keberatan terhadap konsep perencanaan tata ruang wilayah yang telah disusun.
f. Tahap Pengesahan
Draft RTRW tersebut diserahkan pada Walikota untuk diundangkan. Kemudian oleh Walikota diserahkan kepada DPRD untuk disahkan sebagai PERDA (Peraturan Daerah).

2. RTRW KOTA MALANG Tahun 2001 – 2011

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang yang berlaku hingga saat ini adalah Perda Kota Malang No. 7 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2001 – 2011. Rencana-rencana yang terkandung di dalam Revisi RTRW Kota Malang ini dilaksanakan dalam jangka waktu 10 tahun setelah Revisi RTRW ini di Perdakan. Adapun tahapan perencanaan RTRW Kota Malang ini sebagai berikut :
a. Tahun 1998/1999 – 2001 adalah penyusunan RTRW Kota Malang sampai penetapan RTRW dalam Peraturan Daerah.
b. Tahun 2001 – 2005 adalah program tahap I.
c. Tahun 2006 – 2010 adalah program tahap II.
Adapun tujuan RTRW Kota Malang adalah :
d. Terselenggaranya pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan yang berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional.
e. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya.
f. Tercapainya pemanfaatan ruang berkualitas untuk :
• Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur dan sejahtera;
• Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia;
• Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia;
• Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan;
• Mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
Bertitik tolak pada tujuan tersebut diharapkan RTRW Kota Malang ini akan dapat memenuhi sasaran sebagai berikut :
a. Mengarahkan pembangunan kota yang lebih tegas dalam rangka upaya pengendalian, pengawasan dan pelaksanaan pembangunan untuk masing-masing Bagian wilayah Kota (BWK) secara terukur, baik kualitas maupun kuantitas;
b. Menciptakan kelestarian lingkungan permukiman dan kegiatan kota yang merupakan usaha menciptakan hubungan yang serasi antar manusia dan lingkungannya yang tercermin dari pola intensitas penggunaan ruang kota pada umumnya dan pada bagian wilayah kota khususnya;
c. Meningkatkan daya guna dan hasil guna pelayanan yang merupakan upaya pemanfaatan ruang secara optimal yang tercermin dalam penentuan jenjang fungsi pelayanan kegiatan kota dan sistem jaringan jalan kota;
d. Menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan yang pada prinsipnya merupakan upaya dalam menciptakan keserasian dan keseimbangan fungsi serta intensitas penggunaan tanah dalam suatu BWK.

a. Rencana Stuktur Ruang
Rencana struktur ruang Kota Malang terdiri dari rencana struktur fungsional dan rencana struktur pelayanan. Rencana struktur fungsional Kota Malang ini erat kaitannya dengan fungsi dan peran Kota Malang dalam lingkup yang lebih luas yang ditentukan oleh potensi dan perkembangan wilayah itu sendiri. Untuk mencapai hasil pembangunan yang lebih efektif dan efisien maka Kota Malang mempunyai spesifikasi kegiatan yang saling menunjang dan saling melengkapi sesuai dengan lokasi orientasi dan peranannya dalam lingkup regional maupun internal Kota Malang, sehingga kemudian ditetapkannya fungsi dan peran Kota Malang sebagai berikut :
• pusat pemerintahan
• pusat perdagangan skala regional
• pusat pelayanan umum skala regional
• pusat pendidikan skala Nasional
• pusat pengolahan bahan baku dan kegiatan industri
• pusat pertumbuhan bagi wilayah sekitarnya
• pusat pelayanan kesehatan skala regional
• pusat transportasi
• pusat kegiatan militer
• dan pusat pelayanan pariwisata
Berdasarkan fungsi dan peran Kota Malang yang telah ditetapkan, struktur kegiatan fungsional yang diarahkan Kota Malang terdiri dari fungsi primer dan fungsi skunder. Adapun fungsi primer terdiri dari industri, perdagangan, pergudangan, dan transportasi. Sedangkan fungsi skunder terdiri dari pariwisata, perkantoran, pendidikan, kesehatan, peribadatan, militer, dan olahraga.
Selanjutnya agar dimasa mendatang terjadi keseimbangan perkembangan antar kawasan (supaya aktivitas penduduk tidak terpusat pada pusat kota), maka struktur pelayanan yang akan digunakan dalam mengembangkan Kota Malang adalah dengan membagi Kota Malang menjadi 5 Bagian Wilayah Kota (BWK), dimana BWK meliputi satu wilayah kecamatan, yakni :
a. BWK Malang Tengah (Kecamatan Klojen), pusat pelayanan BWK berada di Kelurahan Sukoharjo, Kiduldalem, Kauman dan sekitarnya. BWK ini memiliki fungsi atau kegiatan utama seperti perdagangan, jasa, pemerintahan/perkantoran;
b. BWK Malang Barat Daya (Kecamatan Sukun), pusat pelayanan BWK berada di Desa Mulyorejo dan sekitarnya. BWK ini memiliki fungsi atau kegiatan utama seperti kegiatan perdagangan skala kota, industri dan pergudangan, perumahan, pertanian;
c. BWK Malang Timur Laut (Kecamatan Blimbing), pusat pelayanan BWK berada di Blimbing terutama di Pasar Blimbing dan sekitarnya. BWK ini memiliki fungsi atau kegiatan utama transportasi, industri kecil dan menengah, perdagangan dan jasa, perkantoran dan pemerintahan;
d. BWK Malang Barat Laut (Kecamatan Lowokwaru), pusat BWK berada di Kelurahan Dinoyo dan sekitarnya. Kegiatan utamanya adalah penyelenggaraan pendidikan tinggi yang mendominasi BWK ini, serta adanya kegiatan perdagangan, transportasi, dan pertanian.
e. BWK Malang Tenggara (Kecamatan Kedungkandang), pusat pelayanan BWK berada di Buring dan sekitarnya. BWK ini memiliki fungsi atau kegiatan utama seperti pertanian, pendidikan, perdagangan, industri, dan transportasi.

b. Rencana Pemanfaatan Ruang
Kota Malang telah merencanakan pemanfaatan ruang untuk keperluan : kawasan lindung, kawasan pertanian, pariwisata, industri, permukiman, perdagangan dan jasa, fasilitas umum dan sosial. Berkaitan dengan pengembangan wilayah perumahan dan permukiman, berikut gambaran mengenai arahan pemanfaatan ruang untuk perumahan dan permukiman beserta fasilitas pelayanan yang mendukungnya di Kota Malang, yakni :
a. Kawasan permukiman
Di Kota Malang pola pemanfaatan ruang untuk kawasan perumahan dan permukiman direncanakan didistribusikan pada seluruh bagian wilayah kota, dimana arah perkembangannya mengikuti pola yang sudah ada, terutama diarahkan pada wilayah yang relatif masih kosong seperti Desa Tasikmadu, Tunggulwulung, Mulyorejo, dan daerah pengembangan Gunung Buring. Sebagaimana diungkapkan oleh Bpk Wihartojo selaku Kepala Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan :
“..memang untuk lokasi permukiman dalam RTRW diarahkan ke wilayah pinggiran kota biar pembangunannya merata. Apalagi kalau dilihat mana ada lahan di tengah-tengah kota yang bisa dijadikan perumahan?? Ngak Ada!! Kebanyakan uda dijadikan toko..”
(Sumber : Wawancara di Kantor Beppeko Malang pada tanggal 15 Oktober 2005 pukul 10.00 WIB)

b. Perdagangan dan Jasa

Pengembangan kawasan perdagangan baru direncanakan untuk melayani penduduk Kota Malang secara merata terutama di wilayah Timur dan Barat Kota Malang yaitu di kawasan Gunung Buring, dan kawasan Mulyorejo. Selain itu untuk wilayah baru lainnya, pengembangan fasilitas perdagangan dialokasikan menyatu dengan fasilitas-fasilitas kota lainnya.
c. Rencana pengembangan fasilitas umum dan fasilitas sosial

• Fasilitas Perkantoran
Kawasan perkantoran Pemkot Malang yang ada di jalan Tugu keberadaannya tetap dipertahankan. Untuk pemerataan pelayanan maka pengembangan kawasan perkantoran baru untuk skala pelayanan kota-regional diarahkan di sekitar Sawojajar yang saat ini sudah mulai terbentuk dengan adanya Kantor PDAM, BPN, dan Dinas Pengairan.
• Fasilitas pendidikan
Untuk jenis pendidikan TK sampai SLTP atau sejenisnya pengembangannya di masa mendatang diarahkan untuk menyebar atau dikembangkan di setiap permukiman baru dan atau sesuai dengan kebutuhannya. Untuk jenis pendidikan SMU/ sederajat diarahkan menyebar pada pusat-pusat pelayanan BWK terutama pada pusat BWK malang Barat Daya yaitu di Mulyorejo dan sekitarnya sekitarnya dan BWK Malang Tenggara di Buring dan sekitarnya. Sedangkan untuk pendidikan tinggi yang saat ini sudah membentuk kawasan di bagian Barat Kota, yaitu Sumbersari, Pisang Candi, Dinoyo, dan Untuk pengembangannya diarahkan pada wilayah Utara dan Timur Kota yaitu di Tasikmadu dan Buring.
• Pelayanan Kesehatan
Pengembangan di masa yang akan datang fasilitas kesehatan ini selain pada pengembangan RS bersalin juga pengembangan pada fasilitas kesehatan lainnya yang tidak ada disetiap BWK di Kota Malang terutama di Malang bagian Barat yaitu Mulyorejo sekitarnya, dan di wilayah Kota Malang sebelah Timur Gunung Buring sekitarnya serta di permukiman-permukiman baru. Sebagaimana di ungkapakan oleh Bpk. Wihartojo :
“di Kota Malang ini fasilitas pelayanan kesehatan bisa dibilang banyak tapi permasalahannya adalah pembangunannya kurang merata, khususnya fasilitas kesehatan yang melayani penduduk di wilayah bagian Timur dan Barat Kota Malang”.
• Ruang Terbuka Hijau
Ruang terbuka hijau (RTH) yang ada sekarang keberadaannya tetap dipertahankan dan dihindari peralihan fungsinya, khususnya di Hutan Kota Malabar dan kawasan APP Tanjung, dan diupayakan untuk penambahannya pada kawasan-kawasan terbangun yang juga harus disediakan RTH.
“Khususnya untuk wilayah permukiman, pihak pengembang memang harus menyediakan RTH di wilayah perumahan yang dibangunnya”
(Sumber : Wawancara di Bappeko Malang tanggal 15 oktober 2005 pukul 10.00 WIB)

c. Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Pelaksanaan rencana pembangunan melalui program pemanfaatan ruang, perlu dikendalikan agar tetap sesuai dan selaras dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Untuk itu pemerintah telah membuat rencana pengendalian pemanfaatan ruang di kota guna menunjang penyelenggaraan kegiatan pembangunan dalam kaitannya dengan pemanfaatan ruang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tebel 6.
Tabel 6
Rencana Pengendalian Pemanfaatan Ruang Di Kota Malang

Jenis Kegiatan Sifat Pelayanan Kegiatan yang direkomendasikan Kegiatan yang masih diperbolehkan Kegiatan yang tidak diperbolehkan Sarana Pendukung
Kawasan Pusat Kota Kota
Wilayah Komersial
Pelayanan Umum
Jasa Komersial
Perkantoran
Bank

Perumahan Fasilitas umum lokal
Industri Tempat Parkir
Ruang terbuka Hijau
Kawasan Pengembangan Industri Kota Wilayah Industri
Pelayanan Umum Perumahan Umum Ruang Terbuka Hijau
Perumahan Karyawan
Kawasan Perumahan Kota
Lingkungan Perumahan
Fasilitas Umum Home Industri Non polusi (maks. 50%) Industri besar
Home Industri
Polutan
Pergudangan Ruang terbuka hijau
Perdagangan lokal
Pendidikan
Kesehatan
Peribadatan
Kawasan sepanjang jalan utama Kota
Lingkungan Fasilitas umum
Jasa Komersial
Perkantoran
Bank Komersial skala lingkungan Komersial skala kota Tempat parkir
Ruang terbuka hijau
Kawasan Ruang terbuka Hijau
Sumber : BAPPEKO Malang
Dalam kaitanya dengan pengendalian pemanfaatan ruang bagi pengembangan wilayah perumahan dan permukiman, kegiatan yang direkomendasikan pada kawasan perumahan tersebut hanya perumahan dan fasilitas umum serta sarana pendukungnya seperti RTH, perdagangan lokal, sarana pendidikan, sarana kesehatan, dan sarana peribadatan. Selain itu kegiatan yang masih diperbolehkan pada kawasan perumahan adalah kegiatan home industri non-polutan. Dimana kegiatan yang diijinkan untuk diselenggarakan adalah kegiatan perkotaan yang mempunyai skala pelayanan lingkungan dan kota saja. Untuk fleksibilitas perubahan yang diijinkan adalah (1) pada sekitar pusat pelayanan lingkungan perubahan penggunaan dari perumahan untuk fasilitas umum diijinkan sampai 20% dari tanah yang tersedia dan (2) untuk perumahan yang tidak terletak pada pusat lingkungan hanya diijinkan sampai 10% saja. Sebagaimana diungkapkan oleh Bpk. Siswantono selaku Kabid Prasarana dan sarana Permukiman :
“Untuk menciptakan permukiman yang fungsional memang harus dilengkapi fasilitas umum dan sarana pendukungnya, namun dalam pengembangannya harus dikontrol agar tidak mengganggu ketertiban di wilayah permukiman. Utamnya perdagangan…”
(Sumber : Wawancara di Kantor Dinas Kimpraswil Malang tanggal 19 Oktober 2005 pukul 10.00).
Selain itu ada pula kegiatan yang penyelenggarannya sama sekali tidak diperbolehkan di wilayah perumahan dan permukiman adalah kegiatan industri besar, home industri polutan, dan pergudangan. Hal ini ditegaskan oleh Bpk. Wihartojo selaku Kepala Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan :
“kegiatan industri dan pergudagan memang tidak diperbolehkan untuk diselenggarakan di kawasan perumahan karena polusi udara maupun kebisingan yang ditimbulkan akan mengganggu kenyamanan dan kesehatan penduduk sekitar. Tapi bagi industri yang sudah terlanjur berada di tengah-tengah kawasan permukiman seperti di Jalan Tenaga dan di Kelurahan Ciptomulyo untuk pengendaliannya maka tidak boleh dikembangkan lagi dan rencananya untuk kawasan industri yang ada di Ciptomulyo oleh Pemerintah Kota Malang akan direlokasi ke Kelurahan Arjowinangun”.
(Sumber : wawancara di Kantor Bappeko Malang pada tanggal 15 Oktober pukul 10.00 WIB).

d. Rencana Pengembangan Wilayah Perumahan dan Permukiman
Pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang diarahkan untuk pemenuhan perumahan yang layak huni dan manusiawi untuk berbagai lapisan masyarakat. Untuk klasifikasi dari permukiman yang ada di Kota Malang dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Permukiman yang dibangun oleh pribadi (masyarakat)
b. Permukiman yang dibangun swasta
c. Permukiman rumah dinas
Jika dilihat dari kecenderungan yang ada pada umumnya permukiman yang dibangun oleh pribadi/masyarakat ada tiga jenis yaitu yang tertata dengan rapi, sembarangan dan tidak teratur, serta kampung kumuh. Permukiman yang dibangun/dikembangkan oleh pengembang umumnya berupa rumah dalam berbagai tipe, sedangkan untuk rumah dinas biasanya dikembangkan oleh pemerintah bekerjasama dengan developer sebagai pelaksana.
Pengembangan perumahan pada masa yang akan datang harus didorong melalui pembentukan rumah bertingkat/vertikal (tidak berlantai satu) mengingat terbatasnya ruang yang tersedia.
“rencana pembangunan rumah bertingkat (rumah susun) merupakan alternatif akhir jika lahan untuk permukiman habis. Jika melihat kondisi sekarang wilayah Kota Malang masih mempunyai lahan yang cukup luas untuk dibangunnya perumahan. Jadi rencana tersebut masih belum pasti apalagi mengingat kondisi masyarakat kita yang belum terbiasa tinggal di rumah susun. Coba perhatikan di Rusun Muharto, sedikit yang mau nempatin mereka lebih milih tinggal di tempat semula, di Bantaran Sungai Brantas”.
(Hasil wawancara : Bpk. Wihartojo selaku Kepala Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan tanggal 15 Oktober 2005 pukul 10.00 di Kantor Bappeko Malang)

Selanjutnya pengembangan kawasan perumahan dan permukiman di Kota Malang ditentukan berdasarkan atas luasan kapling rumah sesuai dengan pasal 7 Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Bangunan :
- bentuk rumah besar/mewah 500 m² s/d 2000 m²
- bentuk rumah sedang/menengah 200 m² s/d 600 m²
- bentuk rumah kecil/sederhana 80 m² s/d 200 m²
- bentuk rumah sangat sederhana kurang dari 90 m²
Berdasarkan luasan kapling perumahan dapat dikatakan bahwa penyediaan perumahan ini semakin banyak dilakukan akan tetapi harganya semakin sulit dijangkau. Dengan adanya kondisi seperti ini maka untuk penyediaan perumahan diarahkan untuk memperbanyak rumah tipe kecil dengan memprioritaskan peruntukanya untuk masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Pemerintah Kota Malang sebenarnya sudah melakukan kebijakan tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Bpk. Siswantono selaku Kabid Prasarana dan Sarana Permukiman :
“Untuk saat ini pemerintah sudah melakukan kebijakan penyediaan rumah yang memprioritaskan peruntukannya bagi masyarakat berpenghasilan menengah kebawah yaitu program 1000 Rumah Pemerintah Kota Malang. Perumahan itu dibangun pemerintah untuk PNS, TNI dan POLRI dengan mengutamakan golongan jabatan I dan II. Program ini direncanakan akan diimplementasikan pada wilayah Kelurahan Lesanpuro, Tlogowaru, Arjowinangun, Tlogomas, Bandulan, dan Bandungrejosari. Lahan yang direncanakan adalah memprioritaskan lahan tanah kering (ladang) dan sebagai alternatif terakhir adalah lahan pertanian (sawah). Proyek ini masih dalam proses pengerjaan yang sampai saat ini masih dilakukan di Kelurahan Lesanpuro saja. Ini merupakan proyek pemerintah Kota Malang yang ditangani oleh Dinas Kimpraswil sebagai penanggungjawab teknis dan didanai oleh pemerintah, sedangkan untuk pelaksananya bekerjasama dengan developer. Pada awalnya kami mengalami kesulitan dalam pembangunan perumahan di lokasi tersebut karena kondisi topografi yang tidak menguntungkan dan penyediaan air bersih sangat sulit, tapi Alhamdulillah…berkat kerjasama semua pihak kami bisa membuat sumur bor yang nantinya dapat dimanfaatkan masyarakat untuk penyediaan air bersih ” .
(Sumber : wawancara pada tanggal 19 Oktober pukul 10.00 di kantor Dinas Kimpraswil Kota Malang).
Menurut komposisinya maka perbandingan luas kapling yang akan dikembangkan antara kapling besar, sedang, dan kecil adalah 1 : 3 : 6.
“Hal ini bertujuan untuk menghindari kesenjangan di masyarakat agar kondisi jumlah perumahan kapling besar, sedang dan kecil seimbang” .
(Hasil wawancara dengan Bpk. Siswantono selaku Kabid Prasarana dan sarana Permukiman di Kantor Dinas Kimpraswil tanggal 19 Oktober 2005 pukul 10.00).
Untuk pengembangan permukiman diarahkan memanfaatkan lahan-lahan yang kurang produktif/lahan tegalan sebagai prioritas utama sedangkan alternatif terakhir (keadaan terpaksa) lahan pertanian. Sebagaimana diungkapkan oleh Bpk. Wihartojo :
“lahan pertanian memang akan dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan perumahan karena selama ini kontribusinya cenderung semakin menurun makanya kawasan perkotaan tidak direncanakan untuk pertanian namun untuk sektor komersiil seperti perumahan dan perdagangan yang kontribusinya cenderung meningkat. Makanya lahan pertanian pun lambat laun juga dimanfaatkan untuk pembangunan perumahan, tapi ya perlu diingat itu alternatif terakhir loh… dan pemanfaatannya harus bertahap…”
(Sumber : wawancara dengan Bpk. Wihartojo di kantor Bappeko Malang tanggal 15 Oktober 2005 pukul 10.00).
Arahan Lokasi Pengembangan Kawasan Permukiman di Kota Malang untuk masa yang akan datang dapat dibagi menjadi 4 bagian wilayah, yaitu :
• Pada bagian Utara kota Malang lokasi pengembangan kawasan permukiman diarahkan pada sekitar Kelurahan Balearjosari, Tasikmadu, Tanjungsekar, Tunggulwulung, Mojolangu, Arjosari, Purwantoro, dan sebagian Pandanwangi.
• Pada bagian Barat Kota pengembangannya diarahkan pada sekitar Kelurahan Merjosari, Karangbesuki, Pisangcandi, Bandungrejosari, Bakalankrajan, dan Mulyorejo.
• Pada bagian Selatan kota pengembangannya diarahkan pada bagian Kelurahan Gadang, Bumiayu, Tlogowaru dan Wonokoyo.
• Pada bagian Timur kota pengembangannya diarahkan pada Kelurahan Sawojajar, Madyopuro, Cemorokandang, Lesanpuro, Kedungkandang dan Buring.
Untuk pengembangan permukiman diarahkan memanfaatkan lahan-lahan yang kurang produktif/lahan tegalan sebagai prioritas utama sedangkan alternatif terakhir lahan pertanian tersebut dapat dimanfaatkan.
Selain perencanaan penetapan lokasi pengembangan perumahan dan permukiman serta pertimbangan pemilihan lokasi tersebut, maka dalam rangka menjaga terlaksananya rencana pembangunan dan pengembangan kawasan perumahan dan pemukiman di Kota Malang, maka terdapat rekomendasi dan ketentuan yang diimplementasikan dalam proses kegiatan ini, yaitu :
1. Pada kawasan terbangun kota, harus disediakan ruang terbuka hijau (RTH) yang cukup yaitu :
• Untuk kawasan kepadatan bangunannya tinggi minimum disediakan RTH 10 % dari luas total kawasan.
• Untuk kawasan yang kepadatan bangunannya sedang minimum disediakan RTH 10 % dari luas total kawasan.
• Untuk kawasan yang kepadatan bangunannya rendah minimum disediakan RTH 10 % dari luas total kawasan.
2. Pembangunan rumah tidak boleh merusak kondisi lingkungan yang ada.
3. Pada kawasan atau lokasi yang berfungsi sebagai ruang terbuka hijau dan bersifat khusus sebaiknya tidak dialokasikan untuk permukiman atau kegiatan yang lain diperkirakan dapat menurunkan kualitas lingkungan seperti APP, Taman Malabar, Hutan Lowokwaru, Lapangan Rampal dan lokasi lainnya.
4. Mendorong partisipasi masyarakat untuk mengadakan rumah sendiri tetapi penataannya harus mengikuti rencana tata ruang dan advise Planning yang dikeluarkan oleh Dinas Kimpraswil.
5. Konsep untuk menangani lingkungan permukiman harus dilakukan dengan pemasyarakatan konsolidasi tanah.
6. Untuk pengembangan perumahan yang dilakukan oleh developer harus disertai juga dengan pembangunan fasilitas sosial terutama RTH, lapangan olah raga, tempat ibadah, makam, perbelanjaan, serta jalan yang menghubungkan dengan jalan yang ada disekitarnya dan jalan kota.

4. FAKTOR YANG BERPERAN DALAM PELAKSANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN
Faktor yang berperan dalam pengembangan wilayah perumahan dan permukiman adalah :
a. Jumlah penduduk

Pertambahan jumlah penduduk di Kota Malang membawa konsekuensi meningkatnya tuntutan kebutuhan akan perumahan dan permukiman. Berdasarkan data yang dihimpun BPS Kota Malang jumlah penduduk pada tahun 2002 sebesar 752.137 jiwa dan mengalami peningkatan pada tahun 2003 sebesar 752.137. Sebagaimana hasil wawancara dengan Bpk. Wihartojo selaku Kepala Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan :
“pengembangan perumahan dan permukiman yang dilakukan pemerintah Kota Malang selain untuk memenuhi kebutuhan peruamahan bagi penduduk, namun yang paling penting adalah untuk mendistribusikan penduduk ke seluruh penjuru kota agar tidak terjadi pemusatan jumlah penduduk yang selama ini menyebabkan kekumuhan di pusat kota”.
(Sumber: wawancara tanggal 11 Desember 2005, pukul 09.00 di Kantor Bappeko Malang)

b. Ketersediaan Lahan

Lahan atau ruang merupakan faktor terpenting dalam pengembangan suatu wilayah. Dalam pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang memanfaatkan lahan tegalan/lahan kosong dan lahan pertanian berupa sawah. Berdasarkan data yang dikumpulkan BAPPEKO Malang luasan lahan cadangan yang akan dialokasikan untuk pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang sebesar 6.820.862 Ha. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel :
Tabel 7
Luasan Lahan Cadangan Untuk Perumahan dan Permukiman
Per Kecamatan di Kota Malang

No Kecamatan Lahan Tegalan/kosong (Ha) Lahan Pertanian (Ha) Jumlah %
1.
2.
3.
4.
5. Blimbing
Kedungkandang
Klojen
Lowokwaru
Sukun 849.507
327.607
46.648
299.188
278.281 317.826
2.547.293
-
753.725
1.400.787 1.167.333
2.874.900
46.648
1.052.913
1.679.068 17.114
42.149
46.648
15.347
24.617
JUMLAH 1.801.231 5.019.631 6.820.862 100
Sumber : BAPPEKO Malang, 2004
c. Koordinasi

Koordinasi dalam pengembangan wilayah perumahan dan permukiman meliputi koordinasi dalam perencanaan maupun pelaksanaannya, dimana koordinasi yang dilakukan adalah koordinasi dengan instansi terkait, investor, dan masyarakat. Dalam koordinasi tersebut diharapkan masing-masing pihak dapat melaksanakan hak dan kwajibannya masing-masing. Disini pemerintah berperan sebagai pengarah kebijakan pemanfaatan dan pengalokasian ruang untuk pengembangan wilayah, investor berperan sebagai penanam modal dan berkwajiban mentaati segala peraturan yang ditetapkan. Sedangkan bentuk kerjasama masyarakat adalah dukungan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang dalam hal ini adalah dukungan masyarakat berupa kesediaannya untuk menjual lahannya serta memperoleh ganti rugi yang layak guna pengembangan wilayah perumahan dan permukiman. Menurut Bpk. Wihartojo:
“Selama ini dukungan masyarakat terhadap kegiatan pengembangan wilayah sudah cukup baik, buktinya mereka mau menjual lahannya untuk kepentingan pembangunan. Jarang mereka yang menolak untuk menjual tanahnya, kalaupun ada biasanya karena mereka juga ingin membangun rumahnya di wilayah itu dan ingin menikmati fasilitas yang disediakan pengembang. Dan itu merupakan hak masyarakat sebagai pemilik tanah. Sebenarnya mereka diuntungkan dengan adanya pembangunan perumahan di atas tanah mereka, karena nilai ekonomi tanah akan meningkat yang semula tanahnya nggak produktif dan nggak menghasilkan apa-apa karena tanahnya akan dibangun perumahan maka akan jadi laku dijual”.
(Sumber: wawancara tanggal 11 Desember 2005, pukul 09.00 di Kantor Bappeko Malang)

Pernyataan tersebut didukung oleh pernyataan salah satu warga Arjowinangun yang tanahnya dijual untuk pembangunan Perumahan Puskopad :
“Tegalan yang saya miliki memang luas mbak, tapi nggak menghasilkan apa-apa. Mau dipanen, nggak ada salak yang bisa dipanen. Kalaupun ada hasilnya cuma sedikit dan dijualpun nggak laku. Mau tak bangunkan rumah lokasinya terpencil, depan belakang sawah! Pas kemaren saya di datengi bapak-bapak yang mau beli tanah saya buat perumahan, ya langsung saya jual saja tanah itu, duitnya sekarang bisa tak pake usaha buka warung sama istri saya di deket SMP 10”.
(Sumber: wawancara tanggal 13 Desember 2005, pukul 18.00 )

d. Pembiayaan

Pembiayaan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pembangunan maupun pengembangan wilayah. Dimana program atau rencana sebagus apapun tanpa adanya ketersediaan dana akan nihil. Dan tidak jarang pembiayaan merupakan kendala bagi pelaksanaan rencana pembangunan. Dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah perumahan dan permukiman, pembiayaan ini selain digunakan untuk pengadaaan tanah juga untuk biaya pembangunan yang dianggarkan dalam perencanaan. Selama ini pembiayaan untuk pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang diperoleh melalui investasi dari para pengembang atau developer, Bank (BTN) dan subsidi dari pemerintah yang dianggarkan dalam APBD.
Seperti yang diungkapkan oleh Bpk Wihartojo selaku Kepala Sub Tata Ruang dan Lingkungan:
“ya… hingga saat ini memang dalam pembiayaan pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman di Kota Malang, bisa dibilang masih tergantung pada investasi swasta dan pinjaman dari Bank, itu karena kemampuan pemerintah dalam penyediaan dana sangat terbatas. Namun saat ini pemerintah sudah mengusahakan pembiayaan pembangunan permukiman sendiri melalui anggaran APBD yang untuk sementara ini hanya terbatas pada pembangunan permukiman yang diselenggarakan oleh pemerintah saja, yaitu program 1000 rumah. Itupun dilakukan bertahap mengingat keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah, tapi karena ini program pemerintah penyediaan anggaran, dukungan dewan juga perlu sehingga APBD tiap tahun itu harus dianggarakan dan distujui, karena itu kan memang kebijakan pemerintah”.
(Sumber: wawancara tanggal 11 Desember 2005, pukul 09.00 di Kantor Bappeko Malang)

e. Fasilitas pelayanan

Pengembangan wilayah perumahan dan permukiman perlu untuk mempertimbangkan fasilitas pelayanan yang mendukungnya. Yang meliputi :
- Jaringan jalan dan sarana transportasi
- Penyediaan air bersih, listrik dan alat komunikasi
- Perdagangan, pendidikan, peribadatan, fasilitas kesehatan.
Sebagaimana diungkapkan oleh Bpk Siswantono selaku Kabid Prasarana dan Sarana Permukiman :
“ketersediaan fasilitas sangat mempengaruhi para investor dalam pemilihan lahan untuk pembangunan perumahan dan permukiman, kebanyakan para investor mencarai lahan yang lokasinya strategis yaitu dekat dengan kegiatan pelayanan guna menarik minat pembeli. Dulu nggak ada investor yang mau menanamkan modalnya di Lesanpuro karena mereka harus membuatkan sumur bor dulu untuk menyediakan air bersih dan itu perlu biaya yang banyak” .
(Sumber: wawancara tanggal 11 Desember 2005, pukul 09.00 di Kantor Dinas Kimpraswil Kota Malang)

Hal ini diakui oleh salah satu staff pengembang permukiman PT. Podo Joyo Makmur :
“sebenarnya untuk saat ini pembangunan perumahan di mana saja pasti laku karena semua masyarakat butuh rumah, apalagi rumah tipe RS dan RSS. Sekarang ibaratnya jual rumah seperti jual kacang goreng. Kenapa kami memilih lokasi pembangunan yang dekat dengan fasilitas perkotaan? Ya nantinya kan harga jualnya akan semakin tinggi, biarpun begitu tetep saja laku kok, masyarakat kan sekarang sudah pintar mereka sudah berpikir jangka panjangnya, meskipun sekarang mereka membeli dengan harga yang tinggi tapi mereka memperoleh fasilitas pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhannya yang tidak bisa mereka dapatkan kalau mereka beli rumah di pinggiran kota. Misalnya hemat biaya transportasi, mau kemana-mana juga deket…”
(Sumber: wawancara tanggal 13 Desember 2005, pukul 18.30 )

f. Peraturan

Peraturan diperlukan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman di Kota Malang serta untuk memberi kepastian hukum bagi masyarakat. Peraturan yang dijadikan arahan dalam pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang adalah Perda nomor 7 tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang wilayah Kota Malang dan Perda nomor 1 tahun 2004 mengenai Ketentuan Penyelenggaraan Bangunan. Dimana Perda nomor 1 tahun 2004 ini baru berlaku tanggal 15 februari 2004 jauh setelah ditetapkannya RTRW Kota Malang. Dalam Perda nomor 1 tahun 2004 disebutkan mengenai sanksi pelanggaran bangunan. Adapaun sanksi tersebut diatur dalam Bab XV pasal 102 (1) yaitu :
Bagi pemilik dan atau pengguna yang tidak memenuhi kwajiban pemenuhan fungsi dan atau persyaratan, dan atau penyelenggaraan bangunan gedung dan atau bangunan lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan daerah ini dikenakan sanksi administratif berupa :
• Peringatan tertulis
• Pembatasan kegiatan pembangunan
• Pengehentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan
• Pembekuan ijin mendirikan bangunan
• Pencabutan ijin mendirikan bangunan;
• Perintah pembongkaran bangunan yang biayanya ditanggung oleh pemilik bangunan.
Apabila perintah pembongkaran bangunan tidak dilaksanakan maka akan dilakukan pembongkaran secara paksa oleh Pemerintah Daerah. Kemudian dalam pasal selanjutnya disebutkan mengenai ketentuan pidana, yaitu ancaman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 5.000.000,00.

C. INTERPRETASI DATA DAN ANALISIS
1. PROSES PENYUSUNAN RTRW KOTA MALANG TAHUN 2001 – 2011
Pertumbuhan dan perkembangan kota dapat berjalan dengan sendirinya tetapi suatu saat dapat menimbulkan masalah yang sulit untuk diatasi yang bersifat keruangan, struktural dan fungsional. Dengan adanya kondisi tersebut maka RTRW sebagai suatu rencana, kerangka dan arahan bagi pengembangan dan pembangunan suatu kota perlu direncanakan dengan baik, hal ini bertujuan untuk mencapai keserasian dan keseimbangan dalam pemanfaatan potensi yang ada seefisien dan seefektif mungkin, agar tercipta hubungan yang serasi dan harmonis antara manusia dan lingkungannya. Begitu pula dengan RTRW Kota Malang tahun 2001 – 2011, dalam pembuatannya telah melalui berbagai proses yang sesuai dengan arahan kegiatan penyusunan perencanaan tata ruang dalam pasal 13 UUPR. Dimana RTRW ini akan dijadikan pedoman dalam pemanfaatan ruang bagi kegiatan pembangunan guna keadilan dan kesejahteraan masyarakat Kota Malang khususnya.
Adapun proses penyusunan RTRW Kota Malang tahun 2001 – 2011 adalah melalui tahap persiapan hingga pengesahan menjadi PERDA. Pada tahap persiapan, karena perencanaan tata ruang wilayah ini melibatkan banyak pihak dengan memperhatikan segala potensi dan permasalahan yang kompleks yang tengah terjadi di Kota Malang maka sebelum dilakukan kegiatan penyusunan maka perlu adanya persiapan secara matang. Langkah awal sebagai persiapan adalah penetapan perkiraan biaya perencanaan tata ruang yang dianggarkan dalam APBD. Kemudian Bappeko selaku ketua dan penanggungjawab penyusunan RTRW Kota Malang menyusun TOR sebagai pedoman dan acuan kerja dalam penyusunan RTRW, hal ini dilakukan agar kegiatan penyusunan RTRW dapat berjalan secara efektif dan efisien. Setelah TOR terbentuk maka dilakukan penunjukkan beberapa tenaga ahli yang nantinya bertindak sebagai konsultan serta bertugas menyusun RTRW Kota Malang berdasar ketentuan teknis yang ditetapkan dalam TOR.
Jika semua komponen perencana sudah siap maka kegiatan berikutnya yang dilakukan adalah mengevaluasi RTRW sebelumnya, dari hasil evaluasi tersebut dapat dilakukan langkah-langkah perbaikan, yaitu dengan melengkapi data-data yang ada melalui pengumpulan data. Namun pada pengumpulan data seringkali terdapat hambatan yaitu mengenai validitas dan kelengkapan data. Untuk itu tenaga ahli yang bertugas mengumpulkan informasi secara lengkap melakukan observasi serta wawancara secara langsung dengan pihak-pihak yang terkait (instansi dan lembaga-lembaga perwakilan masyarakat) guna menggali data-data di lapangan. Melalui observasi/suvey dan wawancara akan diketahui mengenai potensi, kondisi nyata yang tengah terjadi di masyarakat serta tingkat permasalahan pemanfaatan ruang berupa simpangan-simpangan pemanfaatan ruang dan lokasi pengembangan, serta perubahan-perubahan kebijaksanaan di luar sistem penataan ruang. Misalnya pembangunan SPBU di atas Taman Mergan di Jalan Raya Langsep, mestinya lahan itu diperuntukkan bagi taman terbuka. Padahal jika mengacu pada RTRW Kota Malang, pada kawasan atau lokasi yang berfungsi sebagai ruang terbuka hijau yang bersifat khusus tidak dialokasikan untuk kegiatan yang lain.
Setelah semua data terkumpul, maka dilakukan analisis dan kajian secara seksama mengenai data-data tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengklasifikasikan data guna memudahkan pengidentifikasian potensi maupun permasalahan pembangunan yang tengah terjadi di Kota Malang untuk dicarikan solusi atau tindakan berikutnya. Hasil analisis ini dijadikan sebagai materi atau bahan pertimbangan untuk membuat draft rencana tata ruang wilayah. Kemudian langkah selanjutnya adalah Penyusunan Draft Rencana, dimana tahap ini hanya dilakukan oleh pihak intern saja, yaitu para tenaga ahli dan dan tim penyusun tanpa mengikutsertakan pihak ekstern yaitu masyarakat yang diwakili oleh LSM dan investor/swasta. Padahal jika mengacu pada Permendagri nomor 9 tahun 1998 tentang peran serta masyarakat dalam proses Perencanaan Tata Ruang di Daerah, dimana didalam salah satu pasalanya disebutkan bahwa mereka berhak membantu dalam merumuskan perencanaan tata ruang wilayah. Namun hal ini belum dilakukan dalam penyusunan RTRW Kota Malang dengan alasan keterbatasan waktu dan sulitnya mengkoordinasi mereka. Namun pada kenyataan yang ada memang kebanyakan masyarakat Kota Malang menyerahkan urusan tersebut kepada pemerintah yang dianggap lebih tahu dan mengerti.
Selanjutnya diadakan seminar terbuka dengan mengundang para stakeholders guna membahas draft RTRW. Kesemua stakeholders pada tahap ini mempunyai kesempatan untuk menyampaikan opini maupun sanggahan/keberatan terhadap terhadap draft RTRW yang telah disusun. oleh sebab itu pada tahap ini ada perbaikan mengenai draft RTRW yang telah disusun, hal ini mengingat adanya informasi baru ataupun sanggahan dari para stakeholders. Dengan adanya diskusi terbuka ini masyarakat akan mengetahui rencana tata ruang yang telah di buat sehingga setiap lokasi di wilayah Kota Malang sudah jelas peruntukan lahannya, sehingga akan mudah dibaca dan diikuti oleh semua pihak, baik oleh pemerintah sendiri, masyarakat secara perorangan, maupun swasta yang akan mengembangkan kegiatannya.
Setelah diadakan perbaikan atau revisi terhadap drtaft RTRW maka kemudian draft rencana tersebut diserahkan kepada Walikota untuk kemudian diundangkan. Setelah itu baru Walikota Malang menyerahkan draft RTRW kepada DPRD untuk di sahkan sebagai PERDA melalui sidang DPRD.

2. RTRW KOTA MALANG
a. Struktur Ruang
RTRW Kota Malang tahun 2001 – 2011 merupakan produk kebijakan pemerintah Kota Malang, yang telah ditetapkan sebagai Peraturan Daerah Kota Malang nomor 7 tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang. Dimana masa berlakunya hingga 10 tahun sejak kebijakan ini di sahkan sebagai PERDA, yang secara aplikatif setiap 5 tahun sekali diadakan evaluasi RTRW guna mengetahui hasil pembangunan dan penyimpangan-penyimpangannya. Penyusunan RTRW Kota Malang tahun 2001 – 2011 ini dilakukan berdasarkan potensi dan masalah yang ada di Kota Malang tanpa mengabaikan wilayah yang ada di sekitarnya (propinsi Jawa Timur) dan norma/kaidah penataan ruang.
Peninjauan lebih lanjut terhadap posisi dan keberadaan Kota Malang, ternyata menunjukkan bahwa wialyah Kota Malang merupakan pusat pengembangan bagi satuan wilayah Pengembangan (SWP) Malang – Pasuruan. Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan bahwa Kota Malang merupakan wilayah inti bagi perkembangan wilayah di Jatim, yang diharapkan akan mampu memberikan penjalaran pengembangan bagi wilayah sekitarnya khususnya untuk wilayah Malang – Pasuruan, sehingga pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan akan dapat tercapai.
Penetapan fungsi dan peran Kota Malang sebagai pusat pemerintahan, pusat perdagangan skala regional, pusat pelayanan umum skala regional, pusat pendidikan skala nasional, pusat pengolahan bahan baku dan kegiatan industri, pusat pertumbuhan bagi wilayah sekitarnya, pusat pelayanan kesehatan skala regional, pusat transportasi regional, pusat kegiatan militer, dan pusat pelayanan pariwisata diperlukan untuk menetapkan skala dan spesifikasi kegiatan yang menonjol dan dominan untuk dikembangkan di Kota Malang. Dimana sepesifikasi kegiatan yang terkandung dalam fungsi dan peran Kota Malang tersebut disesuaikan dengan lokasi, orientasi dan peranannya dalam lingkup regional maupun internal tata ruang wilayah Kota Malang.
RTRW sebagai strategi dan kebijaksanaan pembangunan di Kota Malang dalam konteksnya mempunyai peranan penting dalam peningkatan dan pengendalian pembangunan yang dilakukan dengan tetap memperhatikan kondisi fisik wilayah perencanaan, potensi dan masalah yang dimiliki oleh masing-masing wilayah di Kota Malang dengan tujuan untuk menghindari terjadinya kesenjangan antar wilayah. Salah satu strategi dan kebijaksanaan pemerintah Kota Malang dalam mencapai tujuan tersebut adalah dengan penetapan struktur ruang guna menempatkan kegiatan kota yang efisien, efektif, serasi, dan merata di Kota Malang
Untuk mencapai struktur ruang yang efisien diperlukan penataan dan pengalokasian kegiatan perkotaan yang saling menunjang dan melengkapi. Maka arahan kebijakan RTRW dalam mengalokasikan kegiatan perkotaan guna menciptakan keseimbangan perkembangan antar wilayah kota tersebut adalah dengan membagi Kota Malang menjadi 5 BWK (Bagian Wilayah Kota) serta menetapkan pusat layanan dan sub-pusat pelayanan di tiap-tiap BWK. Dimana setiap BWK adalah merupakan juga satu kecamatan yang juga memiliki fungsi atau kegiatan utama sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Kelima BWK tersebut adalah: BWK Malang tengah (Kecamatan Klojen), BWK Malang barat daya (Kecamatan Sukun), BWK Malang Timur Laut (Kecamatan Blimbing), BWK Malang Barat Laut (kecamatan Lowokwaru) dan BWK Malang tenggara (Kecamatan Kedungkandang). Dimana salah satu BWK tersebut yaitu ada BWK Malang Tengah (Kecamatan Klojen) ada satu kawasan yang ditetapkan sebagai pusat kota, yaitu di sekitar Alun-alun.
Pembagian Kota Malang atas 5 BWK dengan menetapkan fungsi dan tingkat pelayanan pada masing-masing BWK pada dasarnya untuk mengatasi kesenjangan perkembangan pembangunan fisik dan pelayanan di Kota Malang. Sebagaimana hasil pengamatan, telah terjadi perkembangan pembangunan fisik dan prasarana kota yang berkembang dengan pesat namun perkembangan tersebut tidaklah dapat dirasakan merata di seluruh pelosok kota, yaitu terjadi pertumbuhan pembangunan fisik yang terpacu dengan pesat di sisi Utara dan Barat sementara di sisi yang lain perkembangan pembangunan fisik berjalan lambat yaitu pada sisi Timur dan Selatan Kota. Sebagai contoh adalah fenomena daerah pelayanan perdagangan berkembang dengan sendirinya meluber di sepanjang jalan-jalan protokol kota, misalnya pusat perbelanjaan di sepanjang Jalan Merdeka dan di sepanjang Jalan Pasar Besar serta ruko di sepanjang jalan Galunggung dan Sukarno – Hatta, karena daerah tersebut mempunyai akses yang menguntungkan. Kondisi tersebut sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan kota karena sifat pergerakan mobilitas penduduk akan bertumpuk di pusat kota dan beberapa ruas jalan protokol saja, sehingga akan menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam pergerakan lalu lintas sehari-hari.
Dengan demikian bagi perkembangan Kota Malang penetapan hierarki pusat dan sub pusat, lokasi, fungsi, dan skala pelayanannya adalah sangat penting guna pemerataan pembangunan dan mengurangi kesenjangan pembangunan antar wilayah yang tengah terjadi di Kota Malang saat ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Sujarto (2003:48) mengenai fungsi RTRW sebagai perwujudan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antara wilayah kota serta keserasian antar sektor.
Jika diamati RTRW yang baru, guna menciptakan efisiensi dan efektivitas kegiatan maka pusat pelayanan pada tiap-tiap BWK diarahkan pada wilayah-wilayah yang kurang berkembang. Seperti halnya pada BWK Malang Tenggara, pusat pelayanannya diarahkan di wilayah Buring dan sekitarnya, begitu pun dengan BWK Malang Barat Daya yang pusat sekaligus sub-pusat pelayanannya diarahkan di Kelurahan Mulyorejo dan sekitarnya. Berdasarkan hasil pengamatan, kedua wilayah tersebut merupakan wilayah yang terbelakang baik dari segi fisik bangunan, fasilitas pelayanan, maupun kondisi perekonomian masyarakatnya. Penetapan pusat maupun sub-sub pusat pelayanan pada bagian wilayah kota ini sangat penting agar penduduk yang bermukim di wilayah “pinggiran” ini dapat memenuhi kebutuhan hidup sendiri (self-contained) dan sedikit demi sedikit melepaskan ketergantungannya dengan pusat kota, sehingga diharapkan sub pusat dapat melayani penduduk di wilayah ini secara langsung yang tidak terlayani oleh pusat kota secara efisien karena pertimbangan faktor jarak tempuh.
Untuk memacu perkembangan di Kelurahan Mulyorejo yaitu dengan menetapkan wilayah ini sebagai pusat perdagangan dan pengembangan industri. Untuk menunjang pelaksanaan fungsi di wilayah ini maka pemerintah akan membuka akses jaringan jalan menuju wilayah ini yaitu membuka jalan lingkar barat, namun hingga saat ini rencana tersebut belum terealisasi. Kemudian untuk mendistribusikan penduduk ke wilayah ini maka diikuti dengan pengembangan wilayah perumahan dan permukiman. Namun secara makro, jika kita tilik kembali pada RTRW Kota Malang tahun 2001 – 2011 prioritas pembangunannya didorong ke arah kota bagian Timur, yaitu di wilayah Buring dan sekitarnya. Bagi perkembangan Kota Malang, kawasan Buring menjadi sangat prioritas mengingat kesenjangan pertumbuhan pembangunan dan kemiskinan di daerah tersebut selain posisinya menjadi sangat penting dalam struktur kota. Salah satu alternatif untuk memecahkan masalah tidak meratanya kepadatan penduduk, kemiskinan, dan keterbelakangan di daerah ini adalah dengan mengembangkan kawasan tersebut sebagai pusat pembangunan permukiman dalam skala besar berikut dengan fasilitas pelayanannya, sekaligus mengembangkan kawasan tersebut sebagai daerah sub-pusat perdagangan di wilayah Timur Kota Malang. Dengan demikian akan dapat mengurangi kepadatan bangunan fisik maupun kepadatan penduduk di BWK Tengah serta tidak terjadi pemusatan pelayanan dan tercipta keseimbangan pembangunan antar BWK.

b. Rencana Pemanfaatan Ruang
Pemanfaatan ruang erat kaitannya dengan penetapan struktur ruang. Dimana pemanfaatan ruang ini berhubungan dengan pengelolaan struktur ruang, yaitu pada pusat kota dan masing-masing BWK. Untuk pengelolaan struktur ruang yang ada pada pusat kota karena lahan kosong pada masa yang akan datang diperkirakan sudah habis maka yang akan terjadi adalah perubahan fungsi atau pengalihfungsian kawasan permukiman yang ada di pusat kota menjadi kawasan komersial dan untuk kawasan permukiman sendiri cenderung akan dikembangkan pada pinggiran kota. Sedangkan untuk masing-masing BWK pola pemanfaatan ruangnya disesuaikan dengan fungsi yang diemban dan tentunya melihat ketersediaan tanah yang dimiliki.
Dalam kaitanya dengan pengembangan wilayah perumahan dan permukiman, maka untuk pemanfaatan ruang bagi pembangunan perumahan dan permukiman di Kota Malang diarahkan pada seluruh penjuru kota dengan memprioritaskan pembangunan pada wilayah yang relatif masih kosong seperti Tasikmadu, Tunggulwulung, dan Gunung Buring. Berdasarkan RTRW Kota Malang, secara makro pemanfaatan ruang untuk perumahan dan permukiman diarahkan ke wilayah kota bagian Timur timur, yaitu di Kecamatan Kedungkandang. Berdasarkan pengamatan, pemilihan lokasi bagi pembangunan perumahan dan permukiman di wilayah ini sangat cocok karena lahan kosong yang tersedia cukup banyak, jumlah fasilitas umum yang terbatas dan kepadatan penduduk relatif rendah. Sehingga dalam rencanaanya akan dikembangkan perumahan dalam skala besar dengan didukung fasilitas dan utilitas yang memadahi guna menarik minat masyarakat agar bermukim di kawasan ini. Karena berdasarkan pengamatan, penduduk cenderung memilih kawasan permukiman yang dekat dengan fasilitas kota guna kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan dan kegiatan sehari-hari.
Berbagai jenis pembangunan perumahan dari model RS, RSS dengan menggunakan fasilitas KPR-BTN hingga permukiman kapling besar menjadi satu fenomena jamak yang terjadi di kota besar, tidak terkecuali di Kota Malang. kecenderungan perubahan pemanfaatan lahan seperti itu harus diantisipasi sejak awal, agar pemekaran kota tidak berdampak buruk bagi masyarakat. Berdasarkan hasil observasi, dampak tersebut antara lain :
a. permasalahan pada perkembangan kawasan perumahan pada wilayah bagian utara dan barat Kota Malang yang memiliki trend perkembangan yang cukup tinggi dapat menimbulkan pola perkembangan lahan terbangun yang justru organis (tak terencana) karena kawasan ini terkadang diikuti oleh perkembangan lahan terbangun baik untuk lahan permukiman dan non permukiman disekitarnya sebagai dampak perkembangan perumahan tersebut.
b. Orientasi perkembanagn kawasan perumahan ini juga dapat menimbulkan permasalahan tidak terealisasinya sistem fungsi wilayah di bagian ini karena begitu dominannya lahan untuk permukiman ini dapat menyebabkan bergesernya fungsi wilayah menjadi fungsi permukiman sebagai kegiatan utamanya.
Dalam menunjang kegiatan penduduk pada wilayah perumahan dan permukiman sudah seharusnya diikuti pula dengan pembangunan fasilitas pelayanan seperti perdagangan, perkantoran, pendidikan dan kesehatan, yang arah pemanfaatan ruangnya didistribusikan pada sekitar kawasan permukiman.
Namun rencana pemanfaatan ruang bagi kawasan perdagangan di Kota Malang hingga saat ini belum sepenuhnya dapat dilakukan secara optimal sesuai arahan yang terdapat dalam RTRW Kota Malang. Kegiatan perdagangan yang direncanakan akan didistribusikan di wilayah Timur dan Barat Kota Malang guna memacu perkembangan di kedua wilayah tersebut pada implementasinya masih juga memanfaatkan ruang di pusat kota yang mempunyai aksesibilitas tinggi. Bahkan berdasarkan pengamatan, penyelenggaraan fasilitas ini cenderung mengubah fungsi kawasan. Hal ini dapat kita lihat di perumahan Griyasanta dan Sawojajar, dimana fungsi perumahan yang ditetapkan pada wilayah tersebut beralihfungsi sebagai kegiatan perdagangan yaitu dengan pendirian ruko.
Untuk pemanfaatan ruang bagi kawasan pendidikan sudah berjalan secara baik. Dimana arahan penyebaran fasilitas pendidikan yang direncanakan dikembangkan di kawasan timur dan selatan kota sebagian sudah terealisasi, yaitu dengan dibangunnya beberapa SLTP, SMK dan SMA di kedua wilayah tersebut. Hal ini dilakukan selain untuk mengurangi pemusatan fasilitas pendidikan di wilayah (lowokwaru), langkah ini diambil untuk lebih menyeimbangkan dan mengembangkan pendidikan di dua daerah yang paling tertinggal perkembangannya tersebut.
Pengembangan fasilitas peribadatan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, dimana fasilitas peribadatan ini juga dialokasikan pada seluruh wilayah permukiman. Sedangkan untuk pemanfaatan ruang bagi pengembangan fasilitas kesehatan disesuaikan dengan skala pelayanannya, untuk fasilitas kesehatan yang mempunyai tingkat pelayanan lingkungan pemanfaatan ruangnya menyatu dengan fasilitas permukiman (berbentuk klinik/praktik dokter bersama) sedangkan untuk skala pelayanan kota dan regional maka diarahkan pada pusat-pusat pelayanan BWK. Namun pada kenyataannya jumlah fasilitas kesehatan ini masih kurang, khususnya yang terjadi di wilayah-wilayah pinggiran kota. Sebagai contoh di Kelurahan Arjowinangun yang terdiri dari 7 RW hanya mempunyai satu fasilitas pelayanan kesehatan berupa puskesmas saja.
Sedangkan pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau (RTH) biasanya berupa jalur hijau yang ada disepanjang jalan yang mempunyai fungsi utama sebagai paru-paru kota; berupa lapangan olah raga yang sekaligus sebagai peresapan air; maupun berupa pemakaman.

c. Rencana Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Sejalan dengan proses pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang agar dalam pelaksanannya dapat terkendali dan sesuai dengan rencana yang ditetapkan, maka dilakukan pengendalian dalam pembangunanya dengan tetap memperhatikan rencana pengendalian pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam RTRW, hal ini sesuai dengan ungkapan Sujarto (2003:48) bahwa “RTRW Kota berorientasi pada suatu kegiatan untuk menjadi pengarah, pengatur dan pengendali…”.
Dalam pembangunan perumahan harus dilengkapi oleh fasilitas umum dan sarana pendukung bagi kelangsungan hidup dan pemenuhan kebutuhan masyarakat di wilayah permukiman yang berupa fasilitas perdagangan, ruang terbuka hijau (RTH), fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan fasilitas peribadatan. Penyediaan ruang terbuka hijau di kawasan permukiman sangat penting bagi upaya pengendalian kawasan perumahan dan permukiman karena RTH memiliki daya serap terhadap gas buangan (CO dan CO2) yang tinggi. Selai itu, kegiatan perdagangan, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kegiatan home industri non polusi yang diijinkan untuk diselenggarakan di kawasan permukiman arahan pelayanannya hanya sampai tingkat lingkungan dan kota saja. Hal ini untuk menghindari mobilitas pergerakan yang tinggi ke arah kawasan permukiman tersebut yang akan meyebabkan inefisiensi lalu lintas. Dalam upaya pengendalian pengembangan fasilitas-fasilitas tersebut harus dikontrol agar keseimbangan lingkungan permukiman tetap terjaga.
Selain itu untuk menjaga keseimbangan kawasan perumahan dan permukiman tidak diperbolehkannya pendirian kegiatan industri yang menyebabkan polusi di sekitar lingkungan permukiman. Karena perkembangan industri akan membawa konsekuensi munculnya limbah, polusi udara maupun polusi suara yang akan menurunkan kualitas lingkungan perumahan dan mengganggu kenyamanan bagi penduduk di permukiman tersebut, seperti yang diungkapkan oleh Budihardjo (1998:109) bahwa “lokasi permukiman sebaiknya jauh dari lokasi pabrik-pabrik yang mendatangkan polusi”
Namun kegiatan pengendalian tersebut belum dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah maupun masyarakat sebagai pengendali program. Hal ini dapat kita lihat pada kondisi permukiman di Kota Malang saat ini, antara lain :
- Jalur hijau yang mempunyai peranan sebagai paru-paru kota ternyata banyak ditebang baik oleh pemerintah, masyarakat maupun pihak swasta yang ingin merealisasikan rencana pembangunannya seperti pembangunan perumahan, pelebaran jalan, dan penggalian untuk pemasangan kabel maupun tiang listrik. Hal ini dapat kita lihat pada kondisi perumahan di Griya Shanta, dimana sepanjang jalan perumahan tidak ada pepohonan peneduhnya (hanya jalur-jalur utama yang hanya ditanami palem).
- Tidak terkontrolnya pengembangan fasilitas penunjang perumahan dalam bentuk toko dan ruko yang dibangun oleh pihak pribadi maupun pihak swasta. Hal ini terbukti masih eksisnya kegiatan perekonomian yang mejamur di sekitar lokasi yang strategis, yaitu di wilayah perumahan dan permukiman Sawojajar, Griyashanta, dan PBI. Dimana pada wilayah permukiman tersebut terjadi perubahan kegiatan yang kurang produktif menjadi kegiatan yang lebih produktif, misalnya pembangunan ruko pada pusat permukimannya. Padahal kegiatan ini dapat berkembang secara penetratif ke arah sekitarnya sehubungan dengan trend, dan meningkatnya kegiatan ekonomi perkotaan. Apabila kegiatan ini berlangsung terus menerus maka penggunaan lahan dan intensitasnya tentu akan sukar dikendalikan dan arahan pengembangan kota kurang sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa upaya pengendalian dalam pemanfaatan ruang di perkotaan harus dikontrol dengan ketat dan seksama, serta terpadu dalam arti ada wilayah yang sudah saatnya dikendaliakn secara ketat, fleksibel dan adaptif terhadap kebutuhan perkembangan kota.
- Kegiatan permukiman penduduk yang berbaur dengan kegiatan industri berpolusi yaitu di Kelurahan Ciptomulyo (pabrik rokok dan pengolahan besi tua). Hingga saat ini rencana pemerintah untuk merelokasi kegiatan industri tersebut ke Kelurahan Arjowinangun masih belum dilaksanakan.

d. Rencana Pengembangan Wilayah Perumahan dan Permukiman
Di Kota Malang pola penggunaan lahan untuk perumahan dan permukiman direncanakan terdistribusi pada seluruh bagian wilayah kota (BWK), kecuali pada BWK Tengah (Kecamatan Klojen), hal ini disebabkan ketersediaan lahan untuk pengembangan kawasan perumahan dan permukiman di wilayah ini nyaris tidak ada. Untuk memacu perkembangan permukiman di wilayah yang kurang berkembang perlu direncanakan penambahan pusat dan sub pusat pelayanan serta peningkatan dan pembangunan jaringan jalan baru. Untuk wilayah Kota Malang, pengembangan perumahan perlu diikuti juga dengan penempatan pusat dan sub pusat pelayanan, dimana pengembangan perumahan diarahkan ke wilayah yang relatif masih kosong seperti wilayah Desa Tasikmadu, Tunggulwulung, dan daerah pengembangan Gunung Buring. Sebagaimana arahan lokasi pengembangan perumahan dan permukiman di Kota Malang untuk masa yang akan datang adalah sebagai berikut :
• Pada bagian Utara kota Malang lokasi pengembangan kawasan permukiman diarahkan pada sekitar Kelurahan Balearjosari, Tasikmadu, Tanjungsekar, Tunggulwulung, Mojolangu, Arjosari, Purwantoro, dan sebagian Pandanwangi. Pengembangan perumahan dan permukiman di wilayah ini dirangsang dengan membuka jalan tembus Sukarno Hatta – Tasikmadu dan jalan lingkar barat melalui desa Tunggulwulung.
• Pada bagian Barat Kota pengembangannya diarahkan pada sekitar Kelurahan Merjosari, Karangbesuki, Pisangcandi, Bandungrejosari, Bakalankrajan, dan Mulyorejo. Mengingat Kelurahan Mulyorejo sebagai salah satu kawasan yang tertinggal atau pembangunan fisiknya sangat lambat, maka dengan menempatkan pusat pelayanan pada wilayah ini yang berupa kegiatan perdagangan dan industri, dengan penempatan kedua fungsi tersebut serta dibukanya jalan lingkar barat seagai akses jaringan jalan pembuka ke wilayah ini diharapkan wilayah ini akan mengalami perkembangan yang signifikan dalam pembangunan fisik maupun infrastukturnya.
• Pada bagian Selatan kota pengembangannya diarahkan pada bagian Kelurahan Gadang, Bumiayu, Tlogowaru dan Wonokoyo. Yang hingga saat ini pembangunan perumahan dan permukiman sudah terealisasi di Kelurahan Gadang (Gadang Cahaya Raya), Bumiayu dan Tlogowaru (Peruamhan Asabri) sedangkan untuk Kelurahan Wonokoyo sebagian belum terealisasi, hal ini terkait dengan kondisi topografi yang berbukit-bukit, keterbatasan sumber air bersih dan terbatasnya sarana angkutan umum di wilayah ini. Sehingga untuk mengembangkan Kelurahan Wonokoyo sebagai wilayah perumahan dan permukiman perlu adanya perbaikan infrastruktur terlebih dahulu, khususnya untuk menarik investor agar bersedia menanamkan modalnya guna pembangunan perumahan dan permukiman di wilayah ini.
• Pada bagian Timur kota pengembangannya diarahkan pada Kelurahan Sawojajar, Madyopuro, Cemorokandang, Lesanpuro, Kedungkandang dan Buring. Pengembangan perumahan pada kawasan ini akan dirangsang dengan rencana pembangunan jalan arteri primer yang merupakan perpanjangan jalan Toll – Gempol dengan Toll Gate di Singosari (yang sekarang sudah memasuki tahap feasibility Study dan rencanannya akan direalisasikan pada tahun 2006). Dengan adanya rencana tersebut akan memberikan manfaat yang sangat besar. Selain bagi pemecahan masalah kemacetan lalu lintas, pembangunan jalan toll tersebut bisa merangsang investor untuk menanamkan modalnya di kawasan Kota Malang bagian Timur ini, karena jalan ini merupakan akses atau pembuka. Dengan demikian akan memudahkan realisasi rencana yang akan menjadikan kawasan Buring sebagai pusat pembangunan permukiman skala besar berikut fasilitas penunjangnya dan sebagai daerah sub pusat pengembangan di wilayah bagian Timur Kota Malang.
Berdasarkan hasil pengamatan, kawasan ini banyak memiliki lahan yang cukup luas dengan kondisi sebagian besar lahannya adalah lahan kering, sehingga pemilihan lokasi untuk pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di wilayah ini sangat cocok, sebagaimana diungkapkan oleh Budihardjo (1998:109) bahwa “penetapan lokasi perumahan yang baik ditinjau dari segi tata guna tanah adalah tanah yang tidak lagi produktif”. Meskipun ada beberapa kendala yang dihadapi pada saat ini, yaitu keadaan topografi kawasan Buring yang berbukit-bukit dengan curah (ceruk) yang cukup dalam, keterbatasan sumber air bersih dan juga penyediaan sarana dan prasarana yang masih sangat terbatas di kawasan ini. Namun dengan perbaikan infrastruktur dan penambahan fasilitas pelayanan pada wilayah ini akan dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya di kawasan ini guna merealisasikan rencana tersebut.
Sesuai arahan RTRW Kota Malang pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang memanfaatkan lahan berupa lahan kering/tegalan maupun lahan pertanian/sawah. Namun untuk pemanfaatan lahan pertanian berupa sawah perlu diantisipasi agar pengembangan wilayah perumahan dan permukiman khususnya, tidak berdampak buruk bagi masyarakat secara umum, khususnya mengenai keterbatasan penyediaan bahan makanan bagi masyarakat lokal Kota Malang. Oleh karena itu dalam mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi wilayah perumahan dan permukiman hendaknya dilakukan secara bertahap sesuai dengan pertambahan dan kebutuhan penduduk kota. Sehingga dapat dibuatkan suatu skenario, kawasan mana saja yang menjadi skala prioritas untuk dikembangkan terlebih dahulu, dan kawasan mana yang menjadi prioritas terakhir. Sebagai contoh, arahan pengembangan perumahan dan permukiman yang diarahkan pada daerah Tasikmadu, sebaiknya dilakukan secara bertahap karena berdasarkan hasil pengamatan kondisi tanah pada daerah tersebut sangat subur dan masih produktif untuk dikembangkan sebagai wilayah pertanian yang akan dapat menyediakan banyak kebutuhan pangan bagi masyarakat Kota Malang.
Namun berdasarkan hasil temuan di lapangan ada beberapa pembangunan perumahan yang memanfaatkan lahan pertanian (sawah) yang masih produktif secara besar-besaran, antara lain :
a. Untuk Kecamatan Sukun yaitu Perumahan Gadang Indah (PT. Kharisma), Perumahan Janti (PT. Podojoyo Makmur), dan Perumahan Pondok Permata Sukun (PT. Sumbersari Indah).
b. Untuk Kecamatan Kedungkandang yaitu Perumahan Asabri di Bumiayu dan Arjowinangun serta Perumahan Sawojajar I dan II.
c. Untuk Kecamatan Blimbing yaitu Perumahan Pondok Blimbing Indah (PBI).
Berdasarkan luasan kapling perumahan, dapat dikatakan bahwa penyediaan perumahan ini semakin banyak dilakukan akan tetapi harganya sulit dijangkau. Dengan adanya kondisi seperti ini, maka untuk penyediaan perumahan diarahkan untuk memperbanyak rumah tipe kecil. Sesuai dengan yang telah ditentukan dalam RTRW Kota Malang maka tipe rumah yang diperlukan saat ini adalah pembangunan rumah sederhana (RS) dan rumah sangat sederhana (RSS) dalam jumlah yang besar. Hal ini sudah dilakukan oleh pemerintah Kota Malang dengan pengadaan program 1000 rumah yang akan direalisasikan pada wilayah Kelurahan Lesanpuro, Tlogowaru, Arjowinangun, Tlogomas, Bandulan, dan Bandungrejosari. Yang hingga saat ini (akhir tahun 2005) masih baru terealisasi 70 unit rumah di wilayah Lesanpuro. Hal ini dilakukan pemerintah guna memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat, khususnya bagi PNS golongan I dan II serta PNS yang pada masa akhir jabatannya belum mempunyai rumah pribadi. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan Budihardjo (1992:103) yang mengungkapkan mengenai kebijaksanaan dalam bidang perumahan dan permukiman yaitu “pembangunan perumahan rakyat di daerah perkotaan ditujukan bagi golongan masyarakat berpendapatan rendah…”. Walaupun dalam proses pembangunannya menghadapi kendala yaitu keterbatasan penyediaan air bersih akibat kondisi topografi yang berbukit-bukit yang menyebabkan sulitnya pemasangan pipa saluran air PDAM namun hal itu sudah dapat diatasi dengan pembangunan sumur bor yang nantinya dapat menyediakan sumber air bersih bagi kebutuhan masyarakat permukiman tersebut, sebagaimana diungkapkan dalam wawancara dengan Bpk. Siswantono.
Ketentuan yang harus dijalankan bagi pengembang pembangunan perumahan dan permukiman sampai saat ini belum sepenuhnya diimplementasikan. Khususnya untuk fasilitas sosial berupa pemakaman/kuburan jarang disediakan oleh pengembang. Sehingga sebagian besar penduduk di permukiman baru memanfaatkan fasilitas pemakaman/kuburan milik penduduk kampung sekitar yang sudah tersedia. Berdasarkan hasil pengamatan sebagai contoh kejadian ini adalah di wilayah Perumahan Cempaka Putih dan Perumahan Asabri di Arjowinangun, Perumahan Muharto, dan Perum Asabri di Bumiayu.

3. FAKTOR YANG BERPERAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN DI KOTA MALANG
Faktor yang berperan dalam pengembangan wilayah perumahan dan permukiman adalah :
a. Jumlah penduduk
Penduduk dalam suatu wilayah atau kawasan merupakan obyek sekaligus subyek dalam perencanaan. Kondisi penduduk menjadi tolak ukur penyediaan ruang untuk kegiatan di suatu wilayah, kawasan maupun daerah. Elemen-elemen kependudukan merupakan indikator yang harus dimengerti dalam mengetahui tingkat perkembangan suatu wilayah, oleh sebab itu kebijaksanaan-kebijaksanaan pengembangan suatu wilayah tergantung dari perkembangan penduduknya. Begitu pula di Kota Malang kebijaksanaan pengembangan wilayah perumahan dan permukiman yang dilakukan oleh pemerintah Kota Malang adalah untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan dan permukiman karena adanya kondisi penduduk yang jumlahnya semakin meningkat. Hal ini sesuai denagn pernyataan Budihardjo (1992:103) yaitu “pembangunan perumahan di daerah perkotaan dititikberatkan pada perbaikan dan pengadaan rumah untuk mengimbangi pertambahan penduduk…”
Selain itu adanya permasalahan penduduk yang penyebarannya tidak merata. Berdasarkan data dan observasi, telah terjadi beban kepadatan dan pertumbuhan penduduk di pusat kota dan bagian wilayah tertentu (kecamatan Klojen) sedangkan dilain pihak ada wilayah yang beban kepadatan dan pertumbuhan penduduknya sangat lambat (Kecamatan Kedungkandang). Dengan adanya kebijakan pengembangan wilayah perumahan dan permukiman yang alokasi ruang dan penataannya mengikuti arahan dalam RTRW maka kedua permasalahan tersebut dapat di atasi yaitu kebutuhan penduduk akan perumahan dan permukiman dapat terpenuhi dan kepadatan penduduk di pusat kota dapat dikurangi. Hal ini sesuai dengan UUPR pasal 4 yang menyebutkan bahwa “tujuan penataan perumahan dan permukiman adalah memberi arah pada persebaran penduduk yang rasional”.
b. Ketersediaan Lahan
Lahan merupakan modal dasar yang harus disediakan dalam setiap kegiatan pembangunan, terutama dalam hal pengembangan wilayah yang dalam hal ini adalah pengembangan wilayah perumahan dan permukiman. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Blaang (1986:18) “Pada dasarnya lahan merupakan modal dasar dan potensi sumberdaya alam nasional yang mahal dan semakin langka, yang dibutuhkan dan dimanfaatkan untuk berbagai macam kegiatan pembangunan”. Untuk penyediaan lahan ini pemerintah Kota Malang sudah mengalokasikan lahan atau ruang yang diperuntukkan bagi pengembangan wilayah perumahan dan permukiman. Berdasarkan data pada tahun 2004, luasan lahan yang akan dimanfaatkan bagi pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang masih cukup luas yaitu sebesar 6.820.862, terdiri dari lahan tegalan/lahan kosong seluas 1.801.231 Ha dan lahan pertanian/sawah seluas 5.019.631. Melihat jumlah lahan tegalan yang masih cukup luas, sebaiknya pembangunan perumahan dan permukiman di Kota Malang memanfatakan lahan ini dulu sebagai prioritas utama sedangkan selanjutnya pemanfaatan lahan pertanian menjadi alternatif terakhir.

c. Koordinasi
Koordinasi merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan keberhasilan suatu kegiatan, yang dalam hal ini adalah pengembangan wilayah perumahan dan permukiman. Dengan adanya kordinasi yang baik antara pemerintah, swasta dan masyarakat sebagai pelaksana pembangunan akan meminimalisir konflik antar kepentingan dalam pemanfaatan ruang yag telah ditetapkan. Sejauh ini koordinasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sudah cukup baik dalam hal pengembangan wilayah perumahan dan permukiman di Kota Malang. Dimana peran swasta dalam menanamkan modalnya telah dilakukan dalam usaha pengembangan wilayah meskipun ada beberapa ketentuan dalam pelaksanaannya belum dipenuhi, seperti penyediaan fasilitas pemakaman di wilayah permukiman baru. Selanjutnya mengenai koordinasi dengan masyarakat, masyarakat telah mendukung terealisasinya pengembangan wilayah perumahan dan permukiman, yaitu berupa kesediaan mereka untuk menjual tanahnya yang termasuk dalam rencana alokasi ruang bagi pengembangan wilayah perumahan dan permukiman, walaupun ada beberapa yang menolak itu karena mereka ingin membangun perumahan di wilayah tersebut dan ingin menikmati fasitas yang disediakan pengembang. Dan hal tersebut bukan suatu permasalahan yang akan dapat menghambat jalannya proses pengembangan wilayah perumahan dan permukiman.
d. Pendanaan
Pendanaan merupakan faktor yang berperan dalam kegiatan pengembangan wilayah perumahan dan permukiman, dimana pendanaan juga merupakan permasalahan yang bersifat umum dalam setiap pembangunan daerah, tidak terkecuali di Kota Malang. Ternyata dalam hal pembiayaan pembangunan perumahan dan permukiman di Kota Malang, pemerintah masih sangat tergantung pada investasi swasta dan pinjaman Bank (BTN), yaitu melalui kredit pemilikian rumah (KPR-BTN), hal ini mengingat kemampuan penyediaan dana oleh pemerintah sangat terbatas. Langkah ini diambil pemerintah sebagai suatu kebijakan untuk memenuhi kebutuhan perumahan dan permukiman bagi masyarakat Kota Malang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Budihardjo (1992:103) mengenai kebijakan umum pengadaan perumahan di perkotaan yaitu pembangunan perumahan diselenggarakan dengan bantuan fasilitas pemerintah melalui perumnas dan BTN. Saat ini pemerintah Kota Malang telah berupaya untuk mendanai penyelenggaran pembangunan perumahan dan permukiman yang dilakukan melalui anggaran APBD, yaitu untuk pembiayaan program 1000 rumah yang kini tengah dalam proses pembangunan.

e. Fasilitas pelayanan
Ketersediaan fasilitas pelayanan ini dapat mempengaruhi minat para investor maupun konsumen dalam pemilihan lokasi untuk membangun perumahan dan permukiman. Dari hasil pengamatan, lokasi sasaran para pengembang perumahan di Kota Malang selain pada kawasan pusat kota di Kecamatan Klojen yang lahannya sangat terbatas adalah pada bagian utara dan barat Kota Malang terutama pada wilayah administratif Kecamatan Blimbing dan Kecamatan Lowokwaru. Hal ini tidak lepas dari tingkat aksesibilitas dari lokasi ini pada kawasan-kawasan dengan tingkat intensitas kegiatan tinggi yaitu kawasan perdagangan dan jasa yang juga kebanyakan terakumulasi di kawasan ini sehingga pihak pengembang tersebut bisa menjual perumahan dengan harga yang cukup tinggi. Begitu pula dengan sebagian masyarakat, mereka lebih memilih tinggal dan membangun perumahan di wilayah yang mempunyai fasilitas pelayanan yang lengkap demi memperoleh kemudahan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berarti disini penyebaran atau keberadaan fasilitas pelayanan sangat menentukan lokasi pengembangan wilayah perumahan dan permukiman.

f. Peraturan
Peraturan berfungsi sebagai landasan dalam penyelenggaraan Pengembangan wilayah perumahan dan permukiman. Di Kota Malang penyelenggaraan pengembangan wilayah perumahan dan permukiman berpedoman kepada Perda nomor 7 tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang, dimana RTRW tersebut mengatur mengenai arah pemanfaatan, penataan dan pengendalian ruang bagi pengembangan wilayah perumahan dan permukiman. Hal ini untuk menghindari pemanfaatan ruang yang tidak sesuai peruntukannya. Sedangkan jika dalam pelaksanaannya terjadi pelanggaran, khususnya dalam pemanfaatan ruang apabila ada pemilik atau pengguna bangunan tidak memenuhi kwajiban fungsi dan atau persyaratan maka akan dikenakan sanksi administratif yang diatur dalam Peraturan Daerah nomor 1 tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Bangunan. Namun berdasarkan pengamatan di lapangan, pemberlakuaan sanksi bagi pembangunan perumahan yang pemanfaatan ruangnya menyalahi aturan dalam RTRW belum dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat masih eksisnya permukiman di kawasan bantaran Sungai Brantas dan permukiman di sepanjang rel kereta api.

DAFTAR PUSTAKA

Aji, F.B dan Sirait S.M., 1990, Perencanaan Evaluasi Suatu Sistem untuk Proyek
Pembangunan. Jakarta: Bina Aksara.

Bintarto, R., 1984, Interaksi Desa-Kota dan permasalahannya. Jakarta: Ghalia
Indonesia.

Blaang, C. Djemabut, 1986, Perumahan dan Permukiman Sebagai Kebutuhan Pokok. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Budihardjo, Eko, 1996, Arsitektur & Kota di Indonesia. Bandung: Alumni.
Budihardjo, Eko , 1997, Tata Ruang Perkotaan. Bandung: Alumni.
Budihardjo, Eko, 1998, Sejumlah Masalah Pemukiman Kota. Bandung: Alumni.
Jayadinata, Johara T., 1999, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah. Bandung: ITB.

Karmansyah, Ridwan, 1986. Perencanaan Regional. Jakarta: Karunia.

Karmisa, Isa. Cs., 1990, Kualitas Lingkungan di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Machmud, Rudi, 1993, Beberapa Prinsip Penataan Ruang dalam Rangka Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan. Badan Pelatihan Penataan Ruang Bagi Aparat Daerah Tingkat II Se-Jatim.

Moleong, Lexy J., 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosadakarya.

Moleong, Lexy J., 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosadakarya.

Nugroho, Iwan dan Rokhmin Dahuri, 2004, Pembangunan Wilayah (Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan). Jakarta: LP3ES.

Parlindungan, A.P., 1993, Komentar Atas Undang-undang Penataan Ruang (UU No. 24 Th. 2004). Bandung: CV. Mandar Maju.

Riyadi dan Deddy Supriyadi, B., 2004, Perencanaan Pembangunan Daerah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Said, Abdullah, 1996, Pengembangan Wilayah Dilihat dari Sistem Industri Perhotelan di Kotatif Batu. Malang: FIA-Unibraw.

Soekartawi, 1990, Prinsip Dasar Perencanaan Pembangunan (Dengan Pokok Bahasan Khusus Perencanaan Pembangunan Daerah). Jakarta: CV. Rajawali.

Siagian P. Sondang, 1984, Proses Pengelolaan Pembangunan Nasional. Jakarta: Gunung Agung.

Sujarto, Djoko, 2003, Pembangunan Kota baru. Jakarta: Gunung Agung.

Tarigan, Robinson, 2004, Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara.

Undang-undang :
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.
Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman.

sumber : klik disinihttp://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/administrasi-negara/implementasi-rencana-tata-guna-tanah-untuk-kawasan-permukiman-di-k
0 Responses