TEORI PEMBANGUNAN

A. Pengertian
Pembangunan selalu mengingatkan kita pada gagasan tentang kemajuan, kesejahteraan, dan kekayaan. Ikhtiar pembangunan memang demi mencapai hal-hal itu. Namun, pada praktiknya, pembangunan justru seringkali menemui kebuntuannya sendiri. Pembangunan, saat ini semakin kehilangan daya pikat dan vitalitasnya. Praktik dan wacana pembangunan saat ini berada dalam titik kritis akibat berbagai ketidak selarasan dan kesenjangan.
Kemiskinan dalam pengertian luas dapat meliputi kemiskinan di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, maupun iman dan akhlak. Menurut definisi World Bank (1990) kemiskinan adalah sebagai ketidakmampuan seorang individu memenuhi kebutuhan dasarnya. Konsep kemiskinan merupakan suatu masalah dalam pembangunan dengan ditandai oleh indikator adanya pengangguran dan keterbelakangan yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan dan kecemburuan sosial.
Hal ini disebabkan masyarakat miskin memiliki kelemahan dalam manajemen usaha dan keterbatasan dalam mengakses peluang kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai kemampuan dan potensi yang lebih tinggi.
Kemiskinan sebagai suatu proses adalah merupakan pencerminan kegagalan dari sistem pada masyarakat dan negara dalam mengelola sumber daya dan dana secara adil kepada warga negaranya. Oleh karena itu, kemiskinan dapat dibedakan menjadi dua jenis yakni kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Seseorang atau kelompok orang dikatakan miskin absolut apabila tingkat pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum yang dicerminkan oleh garis kemiskinan absolut tersebut.
Sedangkan kemiskinan relatif adalah keadaan perbandingan antara kelompok yang mungkin tidak miskin karena mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi daripada garis kemiskinan warga yang lain di suatu wilayah, dan kelompok yang relatif lebih kaya di tempat lain. Pada umumnya kemiskinan relatif ini lebih disebabkan karena ketimpangan distribusi pendapatan dengan ukuran pendapata per kapita.

BAB II
PEMBAHASAN

Elizabeth Harrison, menyatakan bahwa, pembangunan yang berlangsung saat ini telah menjadi mesin pembangunan yang monolitis, yang hanya berorientasi pasar semata, yang siap menggulung dan menggilas siapapun yang mencoba merintangi. Pembangunan telah kehilangan muatan universal yang berorientasi pada kemanfaatan bagi kelangsungan hidup manusia dan masyarakat.
Maka, kalau Robertson (Robertson: 1984) pernah menganggap pembangunan sebagai usaha kolektif paling ambisius umat manusia, itu bukanlah sesuatu yang berlebihan. Ini karena pembangunan seringkali gagal mewujudkan cita-citanya dan malah menjerumuskan rakyat ke jurang kesengsaraan.
Dalam kerangka itulah, kita mencoba memberikan kritik moral atas praktik-praktik pembangunan yang seringkali melenceng dari cita-cita awalnya serta telah menggerus kepedulian antarsesama. Dan juga melakukan gugatan dan kritik tajam terhadap pondasi yang menopang terhadap proyek pembangunan yang terjadi di Dunia Ketiga yang sering mengalami paradoks-paradoks dan kebuntuan. Beragam proyek pembangunan yang selama ini terus menerus digenjot dan ”dipaksakan” oleh negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, ternyata hanya berorientasi bisnis semata dengan mengesampingkan dimensi-dimensi lainnya.
Akibatnya, proyek-proyek pembangunan ternyata bukan hanya dianggap telah gagal, terutama dalam menghapus kemiskinan yang semakin luas, tetapi teori pembangunan juga telah mengalami kemacetan, terjebak dalam metanarasinya sendiri dan gagal dalam memahami perbedaan-perbedaan dan persoalan-persoalan dalam masyarakat.
Di Indonesia, indikator yang bisa dilihat dari kegagalan tersebut menurut Philip Quarles van Ufford Dik Roth adalah terjadinya berbagai ketimpangan yang sangat tajam. Mulai dari angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, ruwetnya masalah pemerataan penduduk, diskriminasi dalam kesempatan berusaha, kesenjangan desa-kota dan antarwilayah, sampai pada kesenjangan pendapatan antargolongan masyarakat yang sangat timpang dan sebagainya. Yang lebih parah, demi kebijakan ekonomi yang hyper-pragmatis, pembangunan tak jarang melakukan penghancuran modal sosial yang sebetulnya sudah diwarisi dari generasi ke generasi dan berfungsi sebagai tiang penyangga ketahanan dan keutuhan sebuah masyarakat.
Maka, perlahan tapi pasti, praktik pembangunan semacam itu akan terus menumpuk persoalan dalam pembagunan sosial dalam skala yang lebih luas dan mempercepat kemerosotan kualitas hubungan sosial dalam masyarakat. Akibatnya, pembangunan bukan saja semakin menjauhi tujuan untuk memperbaiki kehidupan, tetapi juga terbawa masuk dalam model baru pembangunan, yakni ”pembangunan ala bisnis” yang sering mengesampingkan nilai-nilai moralitas dan etika.
Di tengah arus dan tata ekonomi global yang acapkali meninggalkan dan menanggalkan sesuatu yang berhubungan dengan etika dan moralitas, menunjukkan bahwa pembangunan yang tengah berlangsung saat ini sedang berada pada persimpangan jalan, dan karena itu ia memerlukan suatu keterlibatan moral yang bersifat global. Bahwasanya studi-studi pembangunan seharusnya mampu menyatakan secara lantang suatu tanggungjawab moral bersama atas pembangunan.
Dengan demikian, di dalam pembangunan yang dijalankan diharapkan masih terkandung suatu naratif moral dan empiris. Karena, yang sering terjadi, sebagaimana pernah dikatakan Weber, bahwa dalam masyarakat modern manusia sering terjebak pada apa yang disebut dengan rasionalitas instrumental bertujuan. Dalam segala tindakan, termasuk dalam hal ini pelaksanaan pembangunan, orang cenderung hanya mengejar keuntungan semata dengan mengkalkulasinya secara matematis, teknis, logis, dengan mengesampingkan persoalan nurani.
Kondisi semacam inilah yang dikhawatirkan Habermas (Habermas: 1990) akan memunculkan terjadinya pemujaan berlebihan terhadap teknologi, sehingga teknologi menjadi sebuah ideologi baru dalam kehidupan. Maka, sekali lagi perlu ditegaskan tentang pentingnya untuk mengedepankan sebuah prinsip etika dan moralitas dalam setiap pelaksanaan pembangunan. Kelompok-kelompok marjinal yang selama ini tersisihkan dalam proses pembangunan dan energinya terkuras habis karena berhadapan dengan ketidakadilan global, perlu dikembalikan lagi martabat mereka sebagai manusia serta melibatkan mereka dalam seluruh proses sosial yang terjadi.
Menurut Chambers (1987) kemiskinan dianggapnya sebagai proses interaksi dari berbagai faktor yang muncul sebagai akibat dari situasi ketidakadilan, ketidakpastian, ketimpangan, ketergantungan dalam struktur masyarakat. Oleh karena itu, kemiskinan lebih tepat disebut sebagai perangkap kemiskinan (deprivation trap) yang terdiri dari lima unsur penyebab kemiskinan yang saling terkait yaitu : ketidakberdayaan (powerlessness), kerawanan atau kerentanan (vulnerability), kelemahan fisik (physical weakness), kemiskinan (poverty), dan isolasi (isolation).
Sesuai dengan analisis diatas, maka secara teoritis upaya-upaya kebijaksanaan pengentasan kemiskinan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat miskin diarahkan untuk :
• Memperluas posisi tawar dan memperkecil ketergantungan masyarakat miskin dari kalangan kelas sosial diatasnya dengan cara memperbesar kemungkinan masyarakat melalui diversikasi usaha.
• Memberikan bantuan permodalan kepada masyarakat miskin dengan bunga yang rendah dan berkelanjutan.
• Memberikan kesempatan kepada rakyat miskin untuk bisa terlibat menikmati hasil keuntungan dari hasil produknya dengan cara menerapkan kebijakan harga yang adil.
• Mengembangkan kemampuan masyarakat miskin agar memiliki keterampilan dan keahlian untuk memberi nilai tambah pada produk dan hasil usahanya.

Selanjutnya Usman dan Uphoff (dalam Dewanta, 1995) menyebutkan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat dalam usaha pengentasan kemiskinan yaitu :
1) Investasi pelayanan masyarakat dalam bidang infrastruktur fisik dan sosial.
2) Kebijaksanaan pemerintah yang menguntungkan masyarakat kecil.
3) Teknologi yang disediakan untuk kaum miskin sesuai kemampuannya.
4) Kelembagaan yang efektif yang mampu menumbuhkan sinergisme bekerja.

Oleh karena itu, untuk mengatasi kendala-kendala pelaksanaan dalam upaya penanggulangan kemiskinan tersebut, diperlukan adanya konsep dan strategi pembangunan yang mampu memberdayakan masyarakat miskin. Pemberdayaan tersebut dimaksudkan guna lebih mendayagunakan semua potensi ekonomi dan sosial untuk dapat dikembangkan secara optimal yang bertumpu pada kepentingan rakyat (people center development).
Menurut Chambers (1987) ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu: pertama, beranjak dari urutan prioritas dan strategi masyarakat yang miskin. Kedua, memusatkan perhatian pada kesepakatan antara orang luar dengan orang-orang yang miskin tentang hal-hal yang perlu dilakukan dan yang tidak perlu dilakukan, sehingga pembangunan dapat dirumuskan kembali sebagai upaya yang mencakup penyediaan peluang bagi masyarakat miskin melalui peningkatan peran serta, produktivitas dan efisiensi.
Dengan demikian pembangunan yang berorientasi pada kepentingan rakyat akan lebih mengutamakan empat faktor penting yakni : pemberdayaan masyarakat (people empowerement), partisipasi masyarakat (people participation), organisasi masyarakat (community organization), dan pemimpin yang bijaksana (leadership). Faktor-faktor tersebut diatas dimaksudkan untuk memadukan dan menentukan arah kebijaksanaan penanggulangan kemiskinan anatara lain meliputi :
• Kebijaksanaan yang tidak langsung yang diarahkan pada penciptaan kondisi yang menjamin kelangsungan setiap upaya penanggulangan kemiskinan.
• Kebijaksanaan langsung yang ditujukan kepada golongan masyarakat berpenghasilan rendah.
• Kebijaksanaan khusus yang dimaksudkan untuk mempersiapkan masyarakat miskin itu sendiri dan aparat yang bertanggung jawab langsung terhadap kelancaran program, dan sekaligus memacu dan memperluas upaya untuk menanggulangi kemiskinan.
Oleh karena itu, menurut Korten (dalam Supriatna, 2000) karakteristik pokok pendekatan pembangunan yang berpusat pada manusia harus memperhatikan beberapa hal, yaitu :
1) Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan rakyat dibuat di tingkat lokal.
2) Fokus utamanya adalah memperkuat kemampuan rakyat miskin dalam mengawasi dan mengerahkan aset-aset untuk memenuhi kebutuhan menurut daerahnya.
3) Toleransi terhadap perbedaan.
4) Proses pembelajaran sosial (social learning) yang didalamnya terdapat interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses perencanaan sampai dengan evaluasi proyek.
5) Budaya kelembagaan yang ditandai dengan adanya organisasi yang mengatur diri sendiri dan lebih terdistribusi.
6) Proses pembentukan jaringan koalisi dan komunikasi antara birokrasi dengan LSM lokal, satuan organisasi tradisional mandiri.

Daftar Pustaka

Suryono,A.2004. Pengantar Teori Pembangunan. Malang : Kerjasama FIA Unibraw-Universitas Negeri Malang, UM Press.
Supriatna, T. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Jakarta : Rineka Cipta.
Dewanta, A.S. 1995. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta : Aditya Media.

sumber : kilk disini
0 Responses