HUKUM DAN KONSTITUSI

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanpa perlu melibatkan diri dalam perbedaan semantik, wacana mengenai ‘civil society’ juga mencakup pengertian-pengertian yang berhubungan dengan standar-standar moral sesuai dengan realitas keberagamaan dan keragaman tradisi kultural masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat madani yang demikian, wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai suatu bangunan hukum (konstruksi hukum) dapat diibaratkan sebagai suatu republik ‘madani’ yang ditentukan bentuk, susunan, dan mekanisme kerjanya dalam suatu naskah konstitusi yang benar-benar hidup sebagai hukum dasar dalam kehidupan bernegara. Karena itu, agenda ‘government reform’ haruslah dimulai dengan agenda penyusunan naskah UUD baru ataupun naskah UUD 1945 yang diubah melalui mekanisme amandemen yang benar-benar dapat dijadikan landasan baru yang sistematis dan utuh dalam rangka mewujudkan hukum dasar yang menampung aspirasi ke arah sistem kenegaraan yang diidealkan di masa depan. Dalam agenda penyusunan atau perubahan konstitusi itu dapat ditampung dasar-dasar konseptual mengenai dua agenda sekaligus, yaitu agenda perubahan kelembagaan (struktur reform) dan pembaruan sistem peraturan perundang-undangan (instrumental reform).

Semua aspek penataan kelembagaan dan penataan sturktur peraturan perundang-undangan tersebut di atas, pada pokoknya haruslah didasarkan atas ‘blue print’ hukum dasar yang akan dijadikan pegangan dalam kehidupan bernegara di masa depan. Karena itu, yang paling penting untuk dipastikan adalaha agenda perubahan ataupun penyusunan naskah UUD yang akan diberlakukan terus menuju masa depan, sudah dilaksanakan dengan tepat. UUD 1945 jelas merupakan produk revolusi dan karena itu sifatnya sangat sementara. Sebagai hukum positif, jelas UUD 1945 beserta penjelasannya sudah berlaku sejak negara kita kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959. tetapi, dari sudut isinya dan proses penyusunannya antara ketentuan dalam batang tubuh UUD dan penjelasannya banyak terdapat ketidaksesuaian. Di sanmping itu, materi UUD 1945 itu sendiri, banyak pula yang dipandang tidak sesuai dengan semangat reformasi yang bergulir cepat dan luas di era reformasi dewasa ini. Karena itu, wajarlah jika sekarang kita bersyukur telah dapat mengadakan perubahan terhadap naskah UUD 1945 tersebut.
Salah satu masalah yang akan diangkat dalam makalah ini adalah persoalan Mahkamah Konstitusi yang lahir pada saat amandemen ketiga UUD 1945 (Pasal 24C UUD 1945).
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru yang lahir sebagai ide, format kelembagaan mahkamah ini dipelopori oleh Hans Kelsen yang untuk pertama kalinya berhasil mengadopsikannya ke dalam rumusan Konstitusi Austria pada tahun 1919-1920. Setelah itu, ide mahkamah ini diadopsikan di Italia dalam Konstitusi tahun 1947, baru kemudian di Jerman dan diikuti oleh negara-negara lain. Namun, meskipun dapat dikatakan masih baru, dalam sidang BPUPKI tahun 1945, Muhammad Yamin sudah pernah melontarkan ide untuk mengadopsikannya ke dalam rumusan UUD 1945. Akan tetapi, ide ini ditentang oleh Soepomo karena dikatakannya tidak sesuai dengan sistem berpikir UUD 1945, yang memang ketika itu didesain atas dasar prinsip ‘supremasi parlemen’ dengan menempatkan MPR sebagai ‘instansi’ tertinggi, sehingga tidak cocok dengan asumsi dasar Mahkamah Konstitusi yang mengadakan hubungan antar lembaga yang bersifat ‘checks and balances’.
Oleh sebab itu, ide mahkamah konstitusi ini barulah relevan untuk diadopsikan ke dalam sistem konstitusi kita setelah diadakan perubahan mendasar dalam keempat naskah perubahan pertama, yaitu Perubahan I tahun 1999 sampai dengan Perubahan IV tahun 2002. Dalam desain keempat naskah perubahan ini, kita tidak lagi mengenal adanya lembaga tertinggi negara yang selama ini kedudukannya disandang oleh MPR. Karena perubahan itu, maka perlu disediakan mekanisme untuk mengatasi kemungkinan persengketaan di antara sesama lembaga ‘tinggi’ negara yang telah menjadi sederajat dan saling mengendalikan itu (checks and balances). Disamping itu, tradisi pengujian peraturan juga perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan di bawah undang-undang, melainkan juga atas undang-undang terhadap UUD. Kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung. Karena itu, memang diperlukan adanya Mahkamah Konstitusi tersendiri di samping Mahkamah Agung.

1.2.Rumusan Masalah
Di dalam makalah ini rumusan masalah yang akan ditinjau adalah masalah salah satu pasal yang telah diubah/ditambah dalam UUD 1945 hasil Amandemen, dan tinjauannya ialah sebagai berikut:
1.Bagaimanakah Kekuasaan Mahkamah Konsitusi Secara Umum ?
2.Apakah tugas dan wewenang dari Mahkamah Konstitusi ?

sumber : klik disini
0 Responses