TUGAS KAPITA SELEKTA HUKUM TATA PEMERINTAHAN

KAPITA SELEKTA HUKUM TATA PEMERINTAHAN

A. PENDAHULUAN

Konsep Negara Hukum (Rechtsstaat), mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a) Penyelenggaraan negara berdasar Konstitusi.
b) Kekuasaan Kehakiman yang merdeka.
c) Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.
d) Kekuasaan yang dijalankan berdasarkan atas prinsip bahwa pemerintahan, tindakan dan kebijakannya harus berdasarkan ketentuan hukum (due process of law ).
? UUD 1945 –> Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman –> Lembaga Negara dan Organ yang Menyelenggarakan Kekuasaan Negara.

B. DASAR PEMIKIRAN DAN LATAR BELAKANG PERUBAHAN UUD 1945
1) Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi ketatanegaraan.
2) Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain: memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.
3) UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan “fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran (multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).
4) UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang. Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam Undang-undang.
5) Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan kekuasaan terpusat pada presiden.
b. Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat.
c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan oligopoli.

C. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Menurut TAP MPRS XX Tahun 1966:
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU/PERPU
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan Menteri
7. Instruksi Menteri
Menurut TAP MPR III Tahun 2000:
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU
4. PERPU
5. PP
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah
Menurut UU No. 10 Tahun 2004:
1. UUD 1945
2. UU/PERPU
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah

D. KESEPAKATAN PANITIA AD HOC TENTANG PERUBAHAN UUD 1945
1. Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sistematika, aspek kesejarahan dan orisinalitasnya.
2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3. Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.
4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal.
5. Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.

E. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SEBELUM PERUBAHAN UUD 1945
Deskripsi Singkat Struktur Ketatanegaraan RI Sebelum Amandemen UUD 1945:
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power) kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
MPR
? Sebagai Lembaga Tertinggi Negara diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden.
? Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta utusan golongan yang diangkat.
Dalam praktek ketatanegaraan, MPR pernah menetapkan antara lain:
a. Presiden, sebagai presiden seumur hidup.
b. Presiden yang dipilih secara terus menerus sampai 7 (tujuh) kali berturut turut.
c. Memberhentikan sebagai pejabat presiden.
d. Meminta presiden untuk mundur dari jabatannya.
e. Tidak memperpanjang masa jabatan sebagai presiden.
f. Lembaga Negara yang paling mungkin menandingi MPR adalah Presiden, yaitu dengan memanfaatkan kekuatan partai politik yang paling banyak menduduki kursi di MPR.
PRESIDEN
o Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.
o Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and responsiblity upon the president).
o Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power).
o Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
o Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.
DPR
? Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
? Memberikan persetujuan atas PERPU.
? Memberikan persetujuan atas Anggaran.
? Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.
DPA DAN BPK
• Di samping itu, UUD 1945 tidak banyak mengintrodusir lembaga-lembaga negara lain seperti DPA dan BPK dengan memberikan kewenangan yang sangat minim.

F. LEMBAGA NEGARA DAN SISTEM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN NEGARA SESUDAH PERUBAHAN UUD 1945
Deskripsi Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia “Setelah” Amandemen UUD 1945:
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Perubahan (Amandemen) UUD 1945:
? Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law.
? Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim.
? Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing.
? Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
? Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum.
? Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.
MPR
? Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
? Menghilangkan supremasi kewenangannya.
? Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
? Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu).
? Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
? Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
DPR
? Posisi dan kewenangannya diperkuat.
? Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
? Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
? Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
DPD
Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.
BPK
• Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
• Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
• Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
• Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.
PRESIDEN
o Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
o Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
o Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
o Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.
o Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
o Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
MAHKAMAH AGUNG
? Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
? Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.
? Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
? Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
MAHKAMAH KONSTITUSI
? Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution).
? Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
? Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.

Hak Prerogatif Presiden Sesudah Amandemen UUD 1945
Sebagai negara yang menganut ciri constitutional government sebagai unsur penting negara hukum, maka kekuasaan Pemerintah, dalam hal ini Presiden, diatur dalam UUD 1945 [Lihat Pasal 4 ayat (1)].
Adapun beberapa hak atau kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Presiden pasca Perubahan UUD 1945 adalah sebagai berikut:
1. Mengajukan rancangan undang-undangan kepada DPR [Lihat Pasal 5 ayat (1)];
2. Menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undangn sebagaimana mestinya [Lihat Pasal 5 ayat (2)];
3. Memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan (Lihat Pasal 7);
4. Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angakatan Laut, dan Angkatan Udara (Lihat Pasal 10);
5. Dengan persetujuan DPR, menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain [Lihat Pasal 11 ayat (1)];
6. Membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembukaan undang-undang dengan persetujuan DPR [Lihat Pasal 11 ayat (2)];
7. Menyatakan keadaan bahaya yang syarat-syaratnya dan akibatnya ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 12);
8. Mengangkat duta dan konsul dengan memerhatikan pertimbangan DPR [Lihat Pasal 13 ayat (1)];
9. Menerima penempatan duta negara lain dengen memerhatikan pertimbangan DPR [Lihat Pasal 13 ayat (2)];
10. Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung [Lihat Pasal 14 ayat (1)];
11. memberi amnesti dan abolisi dengan memerhatikan pertimbangan DPR [Lihat Pasal 14 ayat (2)];
12. Memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang (Lihat Pasal 15);
13. Membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden yang selanjutnya diatur dalam undang-undang (Lihat Pasal 16);
14. Mengangkat dan memberhentikan menteri negara (Lihat Pasal 17 ayat (2)];
15. Mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden menjadi undang-undang [Lihat Pasal 20 ayat (4)];
16. Mengajukan rancangan undang-undang tentang APBN untuk dibahas bersama DPR dengan memerhatikan pertimbangan DPD [Lihat Pasal 23 ayat (2)];
17. Meresmikan anggota BPK yang telah dipilih oleh DPR dengan memerhatikan pertimbangan DPD [Lihat Pasal 23F ayat (1)];
18. Menetapkan hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisial dan mendapatkan persetujuan DPR [Lihat Pasal 24A ayat (3)];
19. Mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR [Lihat Pasal 24B ayat (3)];
20. Menetapkan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung tiga orang, oleh DPR tiga orang, dan oleh Presiden tiga orang [Lihat Pasal 24C ayat (3)].

Terhadap Hak Prerogratif atau Hak Mutlak merupakan Hak yang dimiliki Presiden secara penuh dan tidak memerlukan persetujuan dari pihak atau lembaga lain dalam penggunaannya. Sebagai contoh, dari beberapa hak Presiden di atas, pemberian amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi merupakan hak mutlak di tangan Presiden. Walaupun Presiden diharuskan memeperhatikan pertimbangan DPR atau MA, akan tetapi pertimbangan tersebut tidak mengikat dan tidak mutlak mempengaruhi hak penuh presiden sendiri. Begitupula dengan pengangkatan menteri - menterinya, merupakan hak mutlak Presiden.
Adapun adanya ketentuan untuk meminta pertimbangan terlebih dahulu terhadap beberapa hak mutlak Presiden, semata - mata untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang dan keputusan yang diambil lebih bersifat transparan dan relevan. Salah satu kemungkinan yang terjadi yaitu pemilihan Duta Besar dan Konsul yang seringkali dianggap sebagai “hadiah” atau “pengasingan” bagi tokoh - tokoh bangsa sebagaimana terjadi sebelum adanya Amandemen UUD 1945. Dengan adanya hal tersebut, walaupun Presiden mempunya hak prerogatif tetapi tetap ada rambu - rambu konstitusional yang harus ditaati.

TUGAS INDIVIDU II
KAPITA SELEKTA HUKUM TATA NEGARA

Disusun Oleh :
AYU FITRIYANTI
(01004114)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA BARAT
2008

Komnas HAM Diminta Uji Materikan SKB Ahmadiyah
(Oleh Sihar Ramses Simatupang)
Jakarta – Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) bisa mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) berkenaan dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah.Usulan tersebut dimintakan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) kepada Komnas HAM, Jumat (13/6).
“Komnas HAM adalah lembaga yang diakui keabsahannya secara hukum sebagai pihak yang diamanatkan oleh UU untuk pelaksanaan HAM di Indonesia,” ujar Koordinator Kontras Usman Hamid kepada SH, yang menjelaskan usai menemui Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, M Ridha Saleh.
Kontras meminta Komnas HAM mengambil peran proaktif dalam dinamika dan perbedaan pandang terhadap Ahmadiyah. Pada SKB 3 menteri pun, isinya dapat menjadi ancaman warga negara untuk kebebasan konstitusional, yaitu kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing. “Ini bukan lagi domain agama, tapi domain publik, karena isi SKB ditujukan pada masyarakat, masuk ke wilayah publik,” ujarnya.
Apalagi, SKB merujuk peraturan perundang-undangan, UU No 1/1965, yang dikeluarkan tahun 1965, isinya soal penyalahgunaan dan penodaan agama tahun 1965, di mana UU yang sekarang dirujuk seharusnya produksi UU pasca-UUD 1945 yang telah diamendemen. Misalnya, tata urutan perundang-undangan, yang dalam hierarkinya tak disebutkan SKB sebagai salah satunya. Meski ada larangan kekerasan terhadap Ahmadiyah, namun itu sudah ada di UU, sehingga tak perlu diatur lagi di SKB.
Ridha Saleh mengakui, adanya kesan publik selama ini, Komnas HAM belum cukup mampu dan belum aktif di publik. Namun, Usman menanggapi bahwa Komnas HAM bisa menegaskan posisinya soal SKB ini. “Komnas Perempuan saja telah mengambil sikap. Kalaupun Komnas HAM berbeda pandangan secara internal, kembalikan saja ke patokan standar, baik UU 26/2000 ataupun HAM Internasional. Bukannya malah terkesan ragu,” sambungnya.
Dalam peristiwa lain, Insiden di Monas, selain merupakan isu yang ingin dikaburkan karena tujuan AKKBB seolah yang disikapi hanyalah soal Ahmadiyah. Padahal itu adalah acara yang mengingatkan kepada semua pihak bahwa hari itu adalah momen peringatan kelahiran Pancasila. Aksi damai itu justru untuk menyikapi kebangsaan tanpa dilatari perbedaan agama, keyakinan maupun latar tiap kelompok. “Insiden Monas juga merupakan akibat dari ketiadaan sikap tegas pemerintah dalam menyikapi polemik dan kekerasan yang terjadi pada Ahmadiyah sejak 2005,” pungkas Usman.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto di Bandung, Jumat (13/6) mengatakan, dalam mengawal SKB tentang Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), pemerintah melakukan pengawasan di jajaran masing-masing sesuai kewenangannya baik Jaksa Agung, Menteri Agama maupun Menteri Dalam Negeri. Di tingkat Menteri Agama sosialisasi SKB ini dilakukan di kanwil departemen agama, di tingkat kejaksaan dilakukan di kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri.
Sementara itu, sosialisasi di tingkat Departemen Dalam Negeri dilakukan melalui gubernur, wali kota/bupati. Jika ada yang melakukan pelanggaran terhadap SKB ini maka sesuai kewenangannya maka tiga instansi ini yang akan melakukan tindakan dan pengawalan. “Yang penting cegah kekerasan,” kata Mar-diyanto.
Di bagian lain, Kepala Badan Litbang Departemen Agama, Atho Mudazar mengatakan, pemerintah tidak akan membentuk tim khusus mengawasi kegiatan pengikut Ahmadiyah. Pengawasan terhadap mereka akan dilakukan oleh masyarakat.
Menurutnya, bentuk pengawasan kegiatan warga Ahmadiyah diserahkan kepada publik. “Jika ada penyimpangan, masyarakat wajib melaporkan kepada aparat yang berwenang,” kata Atho. Atho menyebutkan bentuk penyimpangan sudah jelas diatur dalam surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri yaitu Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama.
Dia membantah SKB itu dinilai multi-interpretatif. “Coba tunjukkan mana yang multi-interpretatif. Semuanya sudah cukup jelas kok,” ujarnya.
Dari Bali dilaporkan, ratusan jemaah Ahmadiyah di berbagai daerah di Bali sudah menghentikan aktivitas menyusul terbitnya SKB beberapa waktu lalu. Hal ini ditandai dengan sepinya berbagai tempat ibadah maupun sekretariat yang selama ini dipakai jemaah Ahmadiyah beraktivitas. “Berdasarkan pemantauan kita, jemaah Ahmadiyah di seluruh wilayah di Bali sudah menghentikan aktivitasnya,” tegas Kepala Polda Bali Irjen T Asikin Husein pada jumpa wartawan, Jumat (13/6), di Denpasar.
Dia mengakui keberadaan jemaah Ahmadiyah sudah ada sejak lama di Bali dan tersebar di seluruh dae-rah di Bali. Selama ini, menurutnya, jemaah Ahmadiyah tidak pernah “berselisih” dengan penganut agama lainnya di Bali. Namun, setelah keluarnya SKB tiga menteri itu, lanjut Asikin, jemaah Ahmadiyah di Bali yang berpusat di Buleleng kemudian menghentikan segala aktivitasnya.
Asikin menyebutkan, aparat kepolisian terus mengawasi setiap aktivitas jemaah Ahmadiyah di Bali, termasuk menjaga keamanan para pengikutnya. Hal ini dilakukan guna mengantisipasi agar tidak ada tindakan main hakim sendiri terhadap jemaah Ahmadiyah.
“Kita terus mengawasi dan menjaga keamanan mereka (jemaah Ahmadiyah),” tutur Asikin.

SKB 3 Menteri Akan Tentukan Status Ahmadiyah
(18 April 2008 - 11:42 WIB; Oleh Hervin Saputra)
VHRmedia.com, Jakarta - Pemerintah belum mengambil keputusan mengenai status Jamaah Ahmadiyah Indonesia yang dinyatakan sebagai aliran agama menyimpang oleh Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat. Pemerintah akan mengambil tindakan setelah Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama meneken surat keputusan bersama (SKB) soal itu.
Hal itu dikatakan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo AS seusai rapat koordinasi membahas masalah Ahmadiyah. Menurut dia, SKB tiga menteri itu akan merujuk pada UU Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama. "Dari rekomendasi Bakor Pakem, Departemen Dalam Negeri, Departemen Agama, dan Kejaksaan Agung akan merumuskan SKB," kata Widodo di kantornya, Kamis (17/4).
Widodo AS mengatakan, dalam rapat dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta, Jaksa Agung Hendarman Supandji, Panglima TNI Joko Santoso, Kapolri Jenderal Sutanto, dan perwakilan Departemen Agama Atho Mudzahir, dirumuskan langkah lanjutan panduan menyusun SKB. Dalam rumusan itu dimasukkan usulan melakukan usaha persuasif terlebih dahulu kepada Jamaah Ahmadiyah. "Itu yang kita dorong untuk segera dilakukan institusi terkait."
Menurut Menkopolhukam, pertimbangan lain yang akan dimasukkan dalan SKB tiga menteri itu menjaga stabilitas nasional. Meski belum dapat memastikan kapan SKB itu ditandatangani, dia berharap SKB dapat menjadi alat penyelesaian yang dapat diterima semua pihak. "Stabilitas itu yang penting," katanya.
Soal jaminan keamanan pengikut Ahmadiyah, Menkopolhukam meminta polisi bertindak mengutamakan perlindungan terhadap warga negara dan mencegah aksi kekerasan.
Jaksa Agung Hendarman Supandji meminta Jamaah Ahmadiyah menaati rekomendasi Bakor Pakem sebelum SKB ditandatangani. Namun Hendarman belum dapat memastikan kapan SKB itu ditandatangani. "Ya sudah, lihat dulu. Biar SKB ditandatangani dulu," katanya.
Hendarman menyatakan polisi akan menangani kemungkinan pelanggaran hukum oleh pengikut Ahmadiyah. Pihaknya dalam hal ini hanya berwenang menyidik pasal penodaan agama. "Itu urusan polisi, bukan kejaksaan," ujarnya. (E1)

Komnas HAM Perempuan Menilai SKB Tiga Menteri Syarat Bermuatan Politik (Kamis, 12 Juni 2008 19:12)

PRO3RRI - Jakarta:: Anggota Komnas Perempuan Sri Irianti Ediyono menjelaskan, SKB Tiga menteri telah menunjukan bagaimana agama digunakan sebagai alat permainan politik oleh penguasa negara, bahkan SKB dinilai sangat diskriminatif sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dalam pantauan komnas Ham perempuan di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat menunjukan bahwa kaum perempuan menangung beban tersendiri akibat sikap diskriminatif terhadap komunitas Ahmadiyah.

Mereka mengalami proses diskriminatif yang berlapis baik sebagai anggota dari komunitasnya maupun sebagai perempuan.

Secara spesifik hak-hak perempuan Ahmadiyah yang dilanggar mencangkup hak untuk bebas dari kekerasan berbasis gender, hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas penghidupan yang layak dan hak kesehatan reproduksi.

Dalam konteks ini Komnas Ham meminta kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mencabut kembali SKB tentang Ahmadiyah tersebut.

sumber : klik disini
0 Responses